Take a photo of a barcode or cover
destinugrainy's review against another edition
5.0
Apa itu kebebasan?
Tagline dari novel keempat karya Okky Madasari yang berjudul Pasung Jiwa ini seakan-akan menjadi ruh dalam sepanjang kisah yang tersaji di dalamnya. Berbagai macam isu sosial di masyarakat diangkat, diramu, dan dikumpulkan dalam kisah Sasana dan Jaka Wani.
Sasana, seorang anak laki-laki yang lahir di dalam lingkungan keluarga berada. Ayahnya seorang pengacara, ibunya seorang dokter bedah. Sejak kecil Sasana dilatih untuk memainkan piano klasik. Sasana hanya menurut saja, tapi dia bermain tidak dari hatinya. Dia hanya menggunakan akalnya saja untuk memainkan musik klasik sesuai permintaan orang tuanya. Kepandaian Sasana memainkan musik membuatnya cukup piawai untuk tampil di berbagai pentas saat masih di bangku SD kelas 4. Tapi siapa yang menyangka jika jiwa Sasana sebenarnya menyukai musik dangdut, musik yang dianggap kampungan. Sasana merasa terjebak dalam tubuhnya, dia ingin bebas mencintai musik dangdut yang bisa membuat badannya bergoyang. Bukan hanya karena dangsut semata yang menjadi masalah Sasana. Sisi kelembutan yang ada di dalam dirinya membuatnya jadi bulan-bulanan di sekolah. Dia sering menjadi korban bullying oleh anak-anak kelas atas. Meski di sempat menderita patah tulang karena dikeroyok, orang tuanya tidak mampu berbuat apa-apa. Pasalnya, anak-anak yang menganiaya Sasana memiliki orang tua yang lebih berkuasa.
Ketika Sasana meninggalkan Jakarta untuk pergi kuliah di Malang, dia menemukan kebebasan pertamanya. Sasana pun berubah menjadi Sasa, seorang biduan dangdut. Adalah Jaka Wani, atau yang dikenal dengan Cak Jek, yang menawarkan kepada Sasa profesi sebagai biduan dangdut. Cak Jek juga yang mengatur agar mereka melakukan profesi itu secara profesional. Sasa mulai terkenal, tidak lain karena goyangannya yang aduhai. Hingga suatu ketika, seorang kenalan mereka meminta bantuan untuk mencari tahu soal anaknya yang hilang. Cak Man bercerita jika anaknya Marsini, seorang buruh pabrik, hilang setelah dia mengajak kawan-kawannya untuk melakukan aksi protes di pabrik tempatnya bekerja. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh Cak Jek dan (terutama) Sasa ketika mereka memutuskan untuk membantu Cak Man. Harga itu adalah kehilangan kebebasan mereka sebagai pelaku musik dangdut. Keduanya juga akhirnya terpisah akibat ditangkap oleh tentara saat melakukan aksi protes di pabrik. Entah bagaimana nasib Cak Jek setelah diciduk, yang pasti Sasa diperlakukan sebagai waria yang dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara. Ketika Sasa dibebaskan, dia memilih pulang ke Jakarta, untuk kemudian oleh orangtuanya dia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Di RSJ itu, Sasana bertemu dengan seorang calon psikiater bernama Masita. Kepada Masita, Sasana bisa menumpahkan apa yang ada di pikirannya. Masita kemudian menjadi orang yang memberikan kebebasan kedua kepada Sasana dan Sasa.
Cak Jek (Jaka) yang bebas dari penjara setelah diciduk akibat aksi protes di pabrik, merantau ke Batam. Di sana dia bekerja sebagai buruh pabrikan. Jaka menyebut dirinya mesin yang bekerja dengan rutinitas yang terpola. Di Batam pula, dia bertemu dengan Elis, seorang wanita yang memilih kebebasannya dengan menjadi pelacur. Jaka banyak belajar dari Elis, tapi juga dia terpaksa meninggalkan Batam gara-gara Elis. Pelarian Jaka akhirnya membawanya ke Jakarta dan bergabung dalam sebuah ormas keagamaan yang bekerja menumpas kemaksiatan lewat jalan kekerasan. Jaka merasa menemukan dirinya yang baru, namun dia tidak bisa melupakan bayang-bayang Sasa, Elis, Marsini, dan banyak wanita lainnya yang pernah dikecewakannya.
Saya harus berhenti menceritakan isinya di sini. Sesungguhnya, saya kesulitan untuk membuat reviewnya, dikarenakan novel ini benar-benar padat isinya. Setiap kisah terangkai begitu sempurna, sehingga jika saya bercerita tentang satu hal, rasanya saya ingin menceritakan hal lain yang mengikutinya untuk membuatnya utuh. Tapi tentu saja saya gak boleh membuka spoiler di sini.
“Tak ada jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda” (hlm 146)
Pasung Jiwa bukan hanya tentang kebebasan. Tetapi juga bercerita tentang ketidak adilan, kekerasan dan ketimpangan yang dialami oleh orang-orang marjinal, orang-orang yang tidak seperti kebanyakan orang lainnya. Penghakiman yang selalu datang dari sesama membuat kebebasan itu dipertanyakan kehadirannya. Saya mencoba mengutip hasil wawancara seorang rekan BBI (mbak Yuska) dengan penulis novel ini (mbak Okky) tentang apa inti dari novel ini.
Kebebasan individu. Setiap orang punya ketakutan masing-masing. Apakah kita sudah terbebas atau masih terpasung? Nah, itu kembali pada diri masing-masing bukan? Tema itu kemudian saya kembangkan lewat empat tokoh; ada yang merasa terpasung karena aturan yang dibuat orangtua, norma di masyarakat, atau agama. Bagaimana setiap kita menghadapi ini, begitulah Pasung Jiwa.
Seperti kedua novel karya mbak Okky sebelumnya yang sudah saya baca (Entrok dan Maryam), sekali lagi saya terpesona dengan gaya penulisan dan alur kisah yang mengalir. Namun, khusus untuk novel ini, saya masih penasaran akan satu hal. Novel Pasung Jiwa yang ada di tangan saya adalah edisi perdana yang covernya masih ada list putih di sekelilingnya. Saya memang sengaja membelinya ketika baru pertama kali terbit untuk segera melengkapi koleksi novel karya Okky Madasari di rak saya. Ternyata, edisi itu ditarik dari peredaran, dan kabarnya mengalami proses editing ulang untuk kemudian diterbitkan kembali. Nah…saya penasaran sama edisi setelah diedit ulang itu. Apakah ada yang berubah selain covernya yang jadi tidak lagi ber-list putih?
Tagline dari novel keempat karya Okky Madasari yang berjudul Pasung Jiwa ini seakan-akan menjadi ruh dalam sepanjang kisah yang tersaji di dalamnya. Berbagai macam isu sosial di masyarakat diangkat, diramu, dan dikumpulkan dalam kisah Sasana dan Jaka Wani.
Sasana, seorang anak laki-laki yang lahir di dalam lingkungan keluarga berada. Ayahnya seorang pengacara, ibunya seorang dokter bedah. Sejak kecil Sasana dilatih untuk memainkan piano klasik. Sasana hanya menurut saja, tapi dia bermain tidak dari hatinya. Dia hanya menggunakan akalnya saja untuk memainkan musik klasik sesuai permintaan orang tuanya. Kepandaian Sasana memainkan musik membuatnya cukup piawai untuk tampil di berbagai pentas saat masih di bangku SD kelas 4. Tapi siapa yang menyangka jika jiwa Sasana sebenarnya menyukai musik dangdut, musik yang dianggap kampungan. Sasana merasa terjebak dalam tubuhnya, dia ingin bebas mencintai musik dangdut yang bisa membuat badannya bergoyang. Bukan hanya karena dangsut semata yang menjadi masalah Sasana. Sisi kelembutan yang ada di dalam dirinya membuatnya jadi bulan-bulanan di sekolah. Dia sering menjadi korban bullying oleh anak-anak kelas atas. Meski di sempat menderita patah tulang karena dikeroyok, orang tuanya tidak mampu berbuat apa-apa. Pasalnya, anak-anak yang menganiaya Sasana memiliki orang tua yang lebih berkuasa.
Ketika Sasana meninggalkan Jakarta untuk pergi kuliah di Malang, dia menemukan kebebasan pertamanya. Sasana pun berubah menjadi Sasa, seorang biduan dangdut. Adalah Jaka Wani, atau yang dikenal dengan Cak Jek, yang menawarkan kepada Sasa profesi sebagai biduan dangdut. Cak Jek juga yang mengatur agar mereka melakukan profesi itu secara profesional. Sasa mulai terkenal, tidak lain karena goyangannya yang aduhai. Hingga suatu ketika, seorang kenalan mereka meminta bantuan untuk mencari tahu soal anaknya yang hilang. Cak Man bercerita jika anaknya Marsini, seorang buruh pabrik, hilang setelah dia mengajak kawan-kawannya untuk melakukan aksi protes di pabrik tempatnya bekerja. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh Cak Jek dan (terutama) Sasa ketika mereka memutuskan untuk membantu Cak Man. Harga itu adalah kehilangan kebebasan mereka sebagai pelaku musik dangdut. Keduanya juga akhirnya terpisah akibat ditangkap oleh tentara saat melakukan aksi protes di pabrik. Entah bagaimana nasib Cak Jek setelah diciduk, yang pasti Sasa diperlakukan sebagai waria yang dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara. Ketika Sasa dibebaskan, dia memilih pulang ke Jakarta, untuk kemudian oleh orangtuanya dia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Di RSJ itu, Sasana bertemu dengan seorang calon psikiater bernama Masita. Kepada Masita, Sasana bisa menumpahkan apa yang ada di pikirannya. Masita kemudian menjadi orang yang memberikan kebebasan kedua kepada Sasana dan Sasa.
Cak Jek (Jaka) yang bebas dari penjara setelah diciduk akibat aksi protes di pabrik, merantau ke Batam. Di sana dia bekerja sebagai buruh pabrikan. Jaka menyebut dirinya mesin yang bekerja dengan rutinitas yang terpola. Di Batam pula, dia bertemu dengan Elis, seorang wanita yang memilih kebebasannya dengan menjadi pelacur. Jaka banyak belajar dari Elis, tapi juga dia terpaksa meninggalkan Batam gara-gara Elis. Pelarian Jaka akhirnya membawanya ke Jakarta dan bergabung dalam sebuah ormas keagamaan yang bekerja menumpas kemaksiatan lewat jalan kekerasan. Jaka merasa menemukan dirinya yang baru, namun dia tidak bisa melupakan bayang-bayang Sasa, Elis, Marsini, dan banyak wanita lainnya yang pernah dikecewakannya.
Saya harus berhenti menceritakan isinya di sini. Sesungguhnya, saya kesulitan untuk membuat reviewnya, dikarenakan novel ini benar-benar padat isinya. Setiap kisah terangkai begitu sempurna, sehingga jika saya bercerita tentang satu hal, rasanya saya ingin menceritakan hal lain yang mengikutinya untuk membuatnya utuh. Tapi tentu saja saya gak boleh membuka spoiler di sini.
“Tak ada jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda” (hlm 146)
Pasung Jiwa bukan hanya tentang kebebasan. Tetapi juga bercerita tentang ketidak adilan, kekerasan dan ketimpangan yang dialami oleh orang-orang marjinal, orang-orang yang tidak seperti kebanyakan orang lainnya. Penghakiman yang selalu datang dari sesama membuat kebebasan itu dipertanyakan kehadirannya. Saya mencoba mengutip hasil wawancara seorang rekan BBI (mbak Yuska) dengan penulis novel ini (mbak Okky) tentang apa inti dari novel ini.
Kebebasan individu. Setiap orang punya ketakutan masing-masing. Apakah kita sudah terbebas atau masih terpasung? Nah, itu kembali pada diri masing-masing bukan? Tema itu kemudian saya kembangkan lewat empat tokoh; ada yang merasa terpasung karena aturan yang dibuat orangtua, norma di masyarakat, atau agama. Bagaimana setiap kita menghadapi ini, begitulah Pasung Jiwa.
Seperti kedua novel karya mbak Okky sebelumnya yang sudah saya baca (Entrok dan Maryam), sekali lagi saya terpesona dengan gaya penulisan dan alur kisah yang mengalir. Namun, khusus untuk novel ini, saya masih penasaran akan satu hal. Novel Pasung Jiwa yang ada di tangan saya adalah edisi perdana yang covernya masih ada list putih di sekelilingnya. Saya memang sengaja membelinya ketika baru pertama kali terbit untuk segera melengkapi koleksi novel karya Okky Madasari di rak saya. Ternyata, edisi itu ditarik dari peredaran, dan kabarnya mengalami proses editing ulang untuk kemudian diterbitkan kembali. Nah…saya penasaran sama edisi setelah diedit ulang itu. Apakah ada yang berubah selain covernya yang jadi tidak lagi ber-list putih?
afeksi's review against another edition
5.0
⭐5/5!
Lah, mengapa? Berikut alasannya.
Novel milik Kak Okky yang satu ini berbicara tentang kemanusiaan—manusia-manusia yang menuntut kebebasan. I loves how writer built Sasana and Jaka's character development. Permasalahan yang diangkat tidak jauh-jauh dari apa yang ada dan terjadi belakangan ini, meski latar waktu dalam novel terjadi sepanjang masa orde baru.
Saya suka sekali dengan isu gender yang coba diangkat penulis dalam tokoh Sasa dan Sasana. Mereka satu. Saya jadi teringat pada monolog Sasana dengan dirinya, bahwa, “Cinta ya cinta. Tidak ada urusannya sama jenis kelamin, tidak perlu repot mengikuti aturan main.” Ketika ia mempertanyakan bagian dari dirinya yang manakah yang jatuh cinta pada Masita.
Meski bukan akhir yang saya sukai, sejujurnya, saya berharap bahwa kedua tokoh utama tidak perlu bertemu lagi: yang satu menggenggam erat dendam, sementara yang lain tenggelam dalam penyesalan. Biarlah, biar hancur saja semuanya .... *pusing*
Tapi, ya, lagi-lagi memang saya sepertinya sudah banyak tersihir oleh karya-karya milik Kak Okky. Jadi, biarlah saya berlaku subjektif di sini dengan memberi 5 bintang. Biarlah. Saya juga ingin bebas seperti Sasana dan Jaka.
Lah, mengapa? Berikut alasannya.
Novel milik Kak Okky yang satu ini berbicara tentang kemanusiaan—manusia-manusia yang menuntut kebebasan. I loves how writer built Sasana and Jaka's character development. Permasalahan yang diangkat tidak jauh-jauh dari apa yang ada dan terjadi belakangan ini, meski latar waktu dalam novel terjadi sepanjang masa orde baru.
Saya suka sekali dengan isu gender yang coba diangkat penulis dalam tokoh Sasa dan Sasana. Mereka satu. Saya jadi teringat pada monolog Sasana dengan dirinya, bahwa, “Cinta ya cinta. Tidak ada urusannya sama jenis kelamin, tidak perlu repot mengikuti aturan main.” Ketika ia mempertanyakan bagian dari dirinya yang manakah yang jatuh cinta pada Masita.
Meski bukan akhir yang saya sukai, sejujurnya, saya berharap bahwa kedua tokoh utama tidak perlu bertemu lagi: yang satu menggenggam erat dendam, sementara yang lain tenggelam dalam penyesalan. Biarlah, biar hancur saja semuanya .... *pusing*
Tapi, ya, lagi-lagi memang saya sepertinya sudah banyak tersihir oleh karya-karya milik Kak Okky. Jadi, biarlah saya berlaku subjektif di sini dengan memberi 5 bintang. Biarlah. Saya juga ingin bebas seperti Sasana dan Jaka.
wistereads's review against another edition
4.0
“Di sini kami dikungkung teralis dan tembok-tembok tinggi. Di luar sana kami diikat oleh aturan dan moral.”
“Setidaknya di luar sana kehendak bebas kalian bisa terus dihidupkan.”
Berbagai isu sensitif dihidupkan di novel ini. Diskursus tentang kebebasan yang dituliskan mbak Okky juga nggak bisa ku bantah. Dan tentu saja, seperti novel-novel bertema sosial-politik dan berlatar kejadian sejarah yang lain, aku kagum sekaligus penasaran dengan proses risetnya. Setelah ini tentu sajaaa akan lanjut baca buku-buku mbak Okky yang lainnya!
alodiaga's review
4.0
Sedikit berbeda dengan novel-novel Okky Madasari sebelumnya, Pasung Jiwa ini cenderung memiliki "happy ending." Setidaknya pembaca diberikan "harapan" selepas rampung.
Lantaran judul dan covernya, saya pikir Mba Okky akan lebih bercerita mengenai transgender, namun ternyata isu tersebut hanyalah sedikit bumbu dari permasalahan kompleks dari dua tokoh yang diceritakan: Sasana dan Jaka. Dua tokoh ini sama-sama menarik, sama-sama laki-laki, sama-sama "terpasung" dalam norma, atau bisa dibilang, "kenormalan." Menurut pandangan saya, mereka berdua berusaha keras untuk mencari "kenormalan" tersebut, dengan melihat diri mereka sendiri, dan tentunya lingkungan yang membesarkan mereka.
Seperti novel-novel Indonesia pasca-reformasi lainnya (ini menurut saya loh, hehe), Okky juga bercerita sedikit-demi-sedikit mengenai perjuangan para buruh untuk menuntut keadilan (yang ujung-ujungnya, dikira "PKI") hingga peristiwa reformasi itu sendiri.
Saya bingung mau ngasih empat atau lima bintang, namun mungkin karena endingnya agak sedikit kurang "maknyos," saya putuskan untuk ngasih empat. Secara isi dan metode penceritaan, seperti biasa, saya sangat cocok dengan gaya Mba Okky. Sangat riil, dan karakter-karakternya seakan sedang bercerita kepada saya :)
Lantaran judul dan covernya, saya pikir Mba Okky akan lebih bercerita mengenai transgender, namun ternyata isu tersebut hanyalah sedikit bumbu dari permasalahan kompleks dari dua tokoh yang diceritakan: Sasana dan Jaka. Dua tokoh ini sama-sama menarik, sama-sama laki-laki, sama-sama "terpasung" dalam norma, atau bisa dibilang, "kenormalan." Menurut pandangan saya, mereka berdua berusaha keras untuk mencari "kenormalan" tersebut, dengan melihat diri mereka sendiri, dan tentunya lingkungan yang membesarkan mereka.
Seperti novel-novel Indonesia pasca-reformasi lainnya (ini menurut saya loh, hehe), Okky juga bercerita sedikit-demi-sedikit mengenai perjuangan para buruh untuk menuntut keadilan (yang ujung-ujungnya, dikira "PKI") hingga peristiwa reformasi itu sendiri.
Saya bingung mau ngasih empat atau lima bintang, namun mungkin karena endingnya agak sedikit kurang "maknyos," saya putuskan untuk ngasih empat. Secara isi dan metode penceritaan, seperti biasa, saya sangat cocok dengan gaya Mba Okky. Sangat riil, dan karakter-karakternya seakan sedang bercerita kepada saya :)
lailaafaadhilah's review against another edition
5.0
gila parah gila bangettttttt
emosiku menjadi-jadi pas baca novel ini. parah parah
aku nangis kejer, pengen marah-marah. emosiku kayak dipermainkan di sini. konfliknya sumpah yaampun speechless aku. gimana ceritanya penulis bisa menuliskan novel segila ini??
baca ini rasanya ingin marah sendiri kalo inget hidupnya Sasana. apalagi pas dia dihajar, banyak kali dia dihajar.
tapi endingnya nggantung, penasaran banget ibunya Sasa gimana, keluarganya, laskar-laskar yang kasar dan urakan.
plissss ini dilanjutin, bikin penasaran bangetttt
emosiku menjadi-jadi pas baca novel ini. parah parah
aku nangis kejer, pengen marah-marah. emosiku kayak dipermainkan di sini. konfliknya sumpah yaampun speechless aku. gimana ceritanya penulis bisa menuliskan novel segila ini??
baca ini rasanya ingin marah sendiri kalo inget hidupnya Sasana. apalagi pas dia dihajar, banyak kali dia dihajar.
tapi endingnya nggantung, penasaran banget ibunya Sasa gimana, keluarganya, laskar-laskar yang kasar dan urakan.
plissss ini dilanjutin, bikin penasaran bangetttt
safaracathasa's review against another edition
5.0
Novel yang bisa selesai dalam sekali duduk. Akan update reviewnya akhir bulan setelah diskusi dulu
safaracathasa's review
2.0
Memutuskan DNF aja akhirnya karena ternyata membaca versi translate menghilangkan kesaktian Mbak Okky di bukunya.
Plus ga sanggup baca penderitaannya Sasa berkali-kali.
Plus ga sanggup baca penderitaannya Sasa berkali-kali.
pluvioviophile's review against another edition
4.75
DEMI APA INI BAGUS BANGET:((((
diksi yang indah, kata-kata yang mnyayat hati, celetukan dialog singkat para tokoh yg membuat mata pedih sjkzcbjzhcbak hah keren?????
jatuh cinta banget sama tokoh2nya, terutama sasa dan jek.
wah gilasiiii, cara okky madasari bercerita apalagi narasi2 yg menggambarkan gejolak batin yg dialami tokoh utama ueueuueueueueue gataulah pokoknya keren:(((
diksi yang indah, kata-kata yang mnyayat hati, celetukan dialog singkat para tokoh yg membuat mata pedih sjkzcbjzhcbak hah keren?????
jatuh cinta banget sama tokoh2nya, terutama sasa dan jek.
wah gilasiiii, cara okky madasari bercerita apalagi narasi2 yg menggambarkan gejolak batin yg dialami tokoh utama ueueuueueueueue gataulah pokoknya keren:(((