Scan barcode
A review by pluviosity
Pompeii by Robert Harris
1.0
Sungguh.
Kalau saja buku ini tidak begitu tebal, dan tidak ada makhluk hidup di dekat saya, pasti sudah saya lempar dengan penuh emosi.
Untung saja, saya sudah cukup dewasa (baca: malas marah).
Ahem.
..dan lagipula, buku ini dibeli dengan harga super diskon, jadi tidak begitu nyesek rasanya kalau mengingat uang yang terbuang.
Separah itukah buku ini?
Kalau menurut saya iya.
Robert Harris memang bukan penulis favorit saya, tapi saya cukup menikmati beberapa bukunya. The Ghost tidak begitu mengagumkan, tapi menurut saya cukup bagus, lebih bagus dari adaptasi filmnya bahkan.
..tapi Pompeii ini.. @$#&%!!!!!
adalah salah satu buku yang tidak plotless, tapi benar-benar aimless.
Apa (lagi) yang mau diceritakan dari tragedi yang sudah diketahui akhir ceritanya dari awal? Ini pertanyaan yang muncul di kepala saya waktu membaca judul novel ini. Tantangan yang saya kira Robert Harris bisa penuhi dengan baik. Setting-nya dimulai dari dua hari sebelum letusan. Woah. Saya kira benar-benar ada cerita di sini. Ternyata..
'Cerita' di novel ini bisa dibilang diciptakan dengan pola yang sama: dengan masa lalu rumit dan bermasalah hampir semua karakter. Entah itu si insinyur galau, mantan aquarius yang menghilang dengan misterius, bangsawan korup mantan budak, atau anak gadis malang yang benci ayah.
Seperti gaya Robert Harris biasanya, setiap masalah si karakter diceritakan dengan detil.
Tapi--dan ini yang paling bikin kesal--setiap detil ini jadi tidak penting,
Beberapa hari sebelum letusan rasanya panas: check.
Bangsawan Roma yang korup, plus punya kelainan seksual: check.
Damsel in distress? no, no, no. >> sexy-tragic-young-damsel-that-hate-daddy-so-much-it-brings-bravery: check.
Ending?
eh, ada gunung meletus. Semua orang panik. Panik, panik, mati tragis, blablabla.
Ada semacam asumsi atau pengandaian Adam dan Hawa di akhir cerita, tapi sudahlah, itu tidak penting sama sekali.
meh.
sungguh tidak penting, sampai saya mikir apa si pengarang benar-benar nyerah dan kehabisan akal waktu menulis akhir buku ini.
Tingkat ke-tidakpenting-annya bahkan lebih tinggi dengan kutipan-kutipan ilmiah buku Vulkanologi *modern* yang ditaruh di tiap awal bab.
Karakter-karakter korup di buku ini cukup menarik, tapi sayangnya tidak demikian hal dengan si karakter utama yang terlalu klise dan stereotipikal. Seperti fotokopi tokoh penulis bayangan di The Ghost malahan.
Robert Harris memang tidak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam detil karakter, waktu dan tempat. Seperti halnya setting perkantoran pemerintah Inggris modern, Robert Harris bisa 'menghidupkan' kembali kota mati Pompeii. Tapi yaa, cuman itu saja pujian yang saya bisa berikan.
Jangan harapkan cerita dari novel ini.
Kalau saja buku ini tidak begitu tebal, dan tidak ada makhluk hidup di dekat saya, pasti sudah saya lempar dengan penuh emosi.
Untung saja, saya sudah cukup dewasa (baca: malas marah).
Ahem.
..dan lagipula, buku ini dibeli dengan harga super diskon, jadi tidak begitu nyesek rasanya kalau mengingat uang yang terbuang.
Separah itukah buku ini?
Kalau menurut saya iya.
Robert Harris memang bukan penulis favorit saya, tapi saya cukup menikmati beberapa bukunya. The Ghost tidak begitu mengagumkan, tapi menurut saya cukup bagus, lebih bagus dari adaptasi filmnya bahkan.
..tapi Pompeii ini.. @$#&%!!!!!
adalah salah satu buku yang tidak plotless, tapi benar-benar aimless.
Apa (lagi) yang mau diceritakan dari tragedi yang sudah diketahui akhir ceritanya dari awal? Ini pertanyaan yang muncul di kepala saya waktu membaca judul novel ini. Tantangan yang saya kira Robert Harris bisa penuhi dengan baik. Setting-nya dimulai dari dua hari sebelum letusan. Woah. Saya kira benar-benar ada cerita di sini. Ternyata..
'Cerita' di novel ini bisa dibilang diciptakan dengan pola yang sama: dengan masa lalu rumit dan bermasalah hampir semua karakter. Entah itu si insinyur galau, mantan aquarius yang menghilang dengan misterius, bangsawan korup mantan budak, atau anak gadis malang yang benci ayah.
Seperti gaya Robert Harris biasanya, setiap masalah si karakter diceritakan dengan detil.
Tapi--dan ini yang paling bikin kesal--setiap detil ini jadi tidak penting,
Spoiler
karena sampai lembar akhir, tidak ada cerita yang benar-benar diselesaikan. Dan bisa dibilang, tidak ada kisah apapun dari semua detil itu.Beberapa hari sebelum letusan rasanya panas: check.
Bangsawan Roma yang korup, plus punya kelainan seksual: check.
Damsel in distress? no, no, no. >> sexy-tragic-young-damsel-that-hate-daddy-so-much-it-brings-bravery: check.
Ending?
eh, ada gunung meletus. Semua orang panik. Panik, panik, mati tragis, blablabla.
Ada semacam asumsi atau pengandaian Adam dan Hawa di akhir cerita, tapi sudahlah, itu tidak penting sama sekali.
meh.
sungguh tidak penting, sampai saya mikir apa si pengarang benar-benar nyerah dan kehabisan akal waktu menulis akhir buku ini.
Tingkat ke-tidakpenting-annya bahkan lebih tinggi dengan kutipan-kutipan ilmiah buku Vulkanologi *modern* yang ditaruh di tiap awal bab.
Karakter-karakter korup di buku ini cukup menarik, tapi sayangnya tidak demikian hal dengan si karakter utama yang terlalu klise dan stereotipikal. Seperti fotokopi tokoh penulis bayangan di The Ghost malahan.
Robert Harris memang tidak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam detil karakter, waktu dan tempat. Seperti halnya setting perkantoran pemerintah Inggris modern, Robert Harris bisa 'menghidupkan' kembali kota mati Pompeii. Tapi yaa, cuman itu saja pujian yang saya bisa berikan.
Jangan harapkan cerita dari novel ini.