A review by blackferrum
Hingga Ujung Cakrawala by Titi Sanaria, Titi Sanaria

lighthearted reflective medium-paced

3.75

Actual rating: 3,8

Anjani bukan Cinderella, tapi kisah hidupnya sudah hampir menyamai karakter dari cerita klasik yang sering menjadi idaman para wanita itu. Mendadak ada lelaki yang tertarik menjalin hubungan dengannya, padahal berpacaran atau sekadar menjalin hubungan belum menjadi prioritas Anjani. Ibunya yang sedang sakit dan adiknya yang hendak masuk kuliah menjadi fokus Anjani saat ini. Tapi, perasaan tidak bisa menipu. Usaha yang dilakukan Dhyas lambat laun membuat Anjani merasa tidak ada salahnya menerima cinta Dhyas. Usaha Dhyas memang bagus dan menyentuh hati, hubungan mereka juga baik-baik saja, tetapi status sosial tidak bisa berbohong. Anjani harus menyiapkan porsi sakit hati di masa depan karena ibu Dhyas tidak terlihat senang dengan hubungan mereka.

Cinderella modern? Yah, bisa dibilang begitu, minus nggak ada adegan pangeran lagi nyari pemilik sepatu yang ketinggalan di depan istananya karena Anjani nggak pernah merasa melepas sepatunya di sembarangan tempat. Lagipula, ibu Cinderella nggak sakit dan saudara tirinya bukan cowok remaja yang sifatnya kaku plus susah untuk didekati.

Perbedaan sosial begini bisa jadi bumerang untuk trope romance. Pemikiran pesimistis Anjani memang bukannya tanpa pertimbangan. Anjani realistis, lho. Dia bisa memprediksi gimana nasib hubungannya dengan Dhyas di masa depan. Pun, dia nggak merasa perlu berandai-andai harus menerjang badai atau sampai perlu berdarah-darah demi mendapat restu ibu Dhyas. Walaupun yah, sikapnya agak menyebalkan, sih; kelewat pesimistis.

Karakter Anjani yang terbiasa mandiri bikin Dhyas gerah. Rasanya kepengin kasih pengertian, tapi sayang nggak bakal ketemu juga sama orangnya. Sifat Anjani yang begitu rasanya sangat wajar. Sering juga ada bahasan atau obrolan mengenai wanita mandiri yang terbiasa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain, eh dapat pasangan yang kepenginnya melayani dia. Bukannya nggak sopan atau nggak peka atau apalah you name it, tapi harusnya memang ada omongan nggak, sih. Kayak sejauh mana si cewek mau dibantu dan di bagian apa cowoknya harus biarin si cewek ngelakuin berbagai hal sendiri.

Oke, jadi melantur ke mana-mana. Aku suka dengan bahasan mengenai sandwich generation di sini. Realistis dan nggak banyak drama. Even sewaktu Dhyas protes karena Anjani lebih sering menolak dijemput dan berakhir naik motor ke tempat janjian mereka itu rasanya ya masih bisa diterima, belum sampai masuk ranah drama.

Justru emaknya Dhyas nih drama abis! Well, karakter dia sebenernya nggak begitu berkesan. Ibunya cuma mengulang kalimat yang sama, tapi dikemas dengan susunan yang berbeda. Bikin kesel iya, biki jengkel; banget! Jengkel karena argumennya itu-itu terus dan Dhypas pakai jurus memersuasi yang begitu-begitu pula. Oalah, ruwet.

Ada satu hal yang kurang sreg sebetulnya; bagian perasaan Anjani. Yah, ada penjelasan Anjani berpikiran seperti apa ketika melihat atau di dekat Dhyas, tapi ya cuma itu. Sampai dia mulai mempertanyakan motif Dhyas yang terus ke kantor Anjani itu aku masih sangsi, apa benar yang dirasakan Anjani itu cinta? Kalau iya, aku nggak merasakan wujud "intangible"-nya. Kayak harusnya ada, tapi pas berusaha dicari tetap nggak nemu. Tiba-tiba Anjani merasa begitu? Hmm, apa ada bagian yang hilang di sini?

Berawal dari itu, aku jadi menyayangkan beberapa bagian yang sengaja diperpanjang padahal nggak terlalu berpengaruh ke alur. Terutama guyonan dewasa Dhyas cs. Bukan hal baru lagi sih, kalau baca karya penulis ini ada lah terselip satu-dua bagian yang harus banget bahas selakangan. Mostly cowok. Dunno juga apa ini penegasan kalau cowok-cowok kumpul yang dibicarakan hanya soal seggs atau ya biar kelihatan asyik aja tongkrongannya? Once again, dunno. Yang amat disayangkan, bagian ini harusnya diisi dengan pendalaman perasaan Anjani ke Dhyas karena semakin lama malah kesannya hambar. Kalau aja bisa nemu titik awal atau momen yang bikin perasaan Anjani langsung "klik" ke Dhyas, mungkin sampai akhir bakal terus-terusan baper.

Beberapa percakapan atau narasi yang intinya sama diulang terus. Again, menyayangkan aja terpaksa harus fokus di situ alih-alih bukunya punya banyak halaman buat memperlihatkan kemistri antar karakter utama atau mengembangkan karakter. Dan masih sama seperti kesan dari buku terakhir dari penulis yang kubaca, ending-nya terlalu express.

Bagian yang malah kayak scene stealer itu hubungan Rayyan dengan keluarga Anjani. Pembangunan emosinya kelihatan banget. Berkembang juga karakternya, terutama Rayyan. Di awal-awal beneran membangun ekspektasi banget ini dan nggak kecewa lah karena kemistri Anjani-Rayyan emang bagus. Hubungan antara Dhyas dan adik-adik kembarnya juga oke, kok, aku demen sama alur setelah para wali ketemuan di ruang BK itu, setelahnya agak bubrah wkwkwk. Jadi salah fokus haha.

Oh, dan aku nggak tahu apakah buku ini ada semacam extra part-nya di platform lain, yah pengalaman testimoni dari teman kalau versi buku terasa kayak ada yang kepotong dan nggak lengkap ternyata pas baca extra chap di salah satu pf malah bisa mencerahkan. Apakah HUC juga begini? Entahlah. Tapi, kalaupun ada, nggak akan baca juga sih haha, penasaran aja apa emang sengaja dipotong buat nantinya "dilengkapi" di extra chap di luar buku.

Anyway, yang demen cerita macam Upik Abu tapi ceweknya tipikal cewek mandiri dan nggak gampang kegoyah sama harta berlimpah, bisa coba baca ini.