Scan barcode
A review by blackferrum
Better Than This by Pradnya Paramitha
lighthearted
reflective
medium-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? N/A
- Loveable characters? N/A
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
3.5
Actual rating: 3,5
Baca ulang demi maraton sekalian buku keduanya. Hasilnya, harus menurunkan ekspektasi. Emang bener sih, makin lama makin banyak hal yang baru disadari kalau ada yang kurang (atau malah lebih).
Enggak ada kesan khusus yang gimana-gimana, sih, intinya ya aku sebel sama Saras karena jadiin semua hal jadi bahan taruhan. Bahkan sahabat sendiri. Udah gitu enteng bener gitu lho bilang "oke", padahal kalau dilihat-lihat, bukannya dia nggak terlalu peduli sama Morrie, ya? Ya emang Morrie juga nyari gara-gara banget, tapi Saras kan kepribadianya cuek? Kenapa gitu dia harus merasa menyanggupi tantangan Morrie. Kecuali bagian Jerro, sih.
Terus ada satu hal yang baru disadari setelah baca ulang; proses jatuh cintanya Saras cepet banget. Yah, ada sedikit kesan tiba-tiba juga, sih. Karena bagian Leo nggak ada plus nggak bisa baca pikiran dia, sebenernya aku pun penasaran kenapa Leo bisa sejatuh itu sama Saras.
Bagian yang paling bikin aku betah baca sampai akhir baik buku ini dan buku keduanya adalah tulisan Kak Pradnya. Waktu itu pernah baca pertanyaan di X, mana yang lebih dipilih; tulisan bagus atau plot yang bagus. Aku jawab tulisan yang bagus karena walaupun plotnya b aja, masih bisa menyelamatkan ceritanya sampai akhir. Dan udah nggak ragu lagi sih sama "sihir" tulisannya Kak Pradnya.
***
(21/10/2021)
Saras, si mahasiswa jurusan hukum yang hobi bolos dan fotografi, harus melakukan taruhan dengan (mantan) teman dekatnya, Morrie, dengan balasan dia akan mendapat kesempatan bertemu fotografer idolanya, Jerro Atma, dan Morrie akan menjauhi dokter kesayangannya, Riza.
Awal taruhan masih oke, lama-lama makin ekstrem dan jelas membuat Saras kelabakan. Apalagi jika orang yang menjadi "dare"-nya adalah Leo, mahasiswa kesayangan dosen dan mahasiswa Hukum angkatan 2010. Musuh terbesar dan orang terakhir yang akan Saras dekati. Tapi apa Saras punya pilihan?
Rasanya relate dengan kegiatan ospek kampusnya, walaupun nggak sama persis, sih, tapi setidaknya cukup mengingatkan masa-masa nostalgialah. Terus karakter Saras ini selain bad crush juga rendah diri banget kurasa. Yah, kalau bandingannya Leo, sih, jelas kayak dua hal yang bertentangan. Sepanjang buku aku enjoy aja sampai pada ending yang bikin niat memberi bintang 5 jadi menurun 4 aja :'(
Anyway, aku suka konfliknya berlapis, sama seperti ketiga buku yang sudah kubaca dari Kak Pradnya, selalu ada twist tak terduga dan i do looooove it!
Baca ulang demi maraton sekalian buku keduanya. Hasilnya, harus menurunkan ekspektasi. Emang bener sih, makin lama makin banyak hal yang baru disadari kalau ada yang kurang (atau malah lebih).
Enggak ada kesan khusus yang gimana-gimana, sih, intinya ya aku sebel sama Saras karena jadiin semua hal jadi bahan taruhan. Bahkan sahabat sendiri. Udah gitu enteng bener gitu lho bilang "oke", padahal kalau dilihat-lihat, bukannya dia nggak terlalu peduli sama Morrie, ya? Ya emang Morrie juga nyari gara-gara banget, tapi Saras kan kepribadianya cuek? Kenapa gitu dia harus merasa menyanggupi tantangan Morrie. Kecuali bagian Jerro, sih.
Terus ada satu hal yang baru disadari setelah baca ulang; proses jatuh cintanya Saras cepet banget. Yah, ada sedikit kesan tiba-tiba juga, sih. Karena bagian Leo nggak ada plus nggak bisa baca pikiran dia, sebenernya aku pun penasaran kenapa Leo bisa sejatuh itu sama Saras.
Bagian yang paling bikin aku betah baca sampai akhir baik buku ini dan buku keduanya adalah tulisan Kak Pradnya. Waktu itu pernah baca pertanyaan di X, mana yang lebih dipilih; tulisan bagus atau plot yang bagus. Aku jawab tulisan yang bagus karena walaupun plotnya b aja, masih bisa menyelamatkan ceritanya sampai akhir. Dan udah nggak ragu lagi sih sama "sihir" tulisannya Kak Pradnya.
***
(21/10/2021)
Saras, si mahasiswa jurusan hukum yang hobi bolos dan fotografi, harus melakukan taruhan dengan (mantan) teman dekatnya, Morrie, dengan balasan dia akan mendapat kesempatan bertemu fotografer idolanya, Jerro Atma, dan Morrie akan menjauhi dokter kesayangannya, Riza.
Awal taruhan masih oke, lama-lama makin ekstrem dan jelas membuat Saras kelabakan. Apalagi jika orang yang menjadi "dare"-nya adalah Leo, mahasiswa kesayangan dosen dan mahasiswa Hukum angkatan 2010. Musuh terbesar dan orang terakhir yang akan Saras dekati. Tapi apa Saras punya pilihan?
Rasanya relate dengan kegiatan ospek kampusnya, walaupun nggak sama persis, sih, tapi setidaknya cukup mengingatkan masa-masa nostalgialah. Terus karakter Saras ini selain bad crush juga rendah diri banget kurasa. Yah, kalau bandingannya Leo, sih, jelas kayak dua hal yang bertentangan. Sepanjang buku aku enjoy aja sampai pada ending yang bikin niat memberi bintang 5 jadi menurun 4 aja :'(
Anyway, aku suka konfliknya berlapis, sama seperti ketiga buku yang sudah kubaca dari Kak Pradnya, selalu ada twist tak terduga dan i do looooove it!