Scan barcode
A review by blackferrum
Rahasia Salinem by Wisnu Suryaning Adji, Brilliant Yotenaga
dark
emotional
funny
inspiring
lighthearted
reflective
relaxing
sad
tense
medium-paced
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
5.0
Actual rating: 10/5
Sebelum masuk bagian reviu, mau warning dulu kenapa aku suka banget sama buku ini atau reviunya kerasa subjektif banget. Buku itu soal selera, kan? Bagiku, buku ini masuk sama taste-ku dan dari awal sampai akhir nggak bikin dahi mengerut apalagi bikin geleng-geleng karena ada aja batu sandungannya.
Ini cerita soal cucu Mbah Salinem, Tyo, yang baru mengetahui identitas asli Mbah Nem setelah beliau meninggal. Kenyataan bahwa Salinem bukan nenek kandungnya membawa kembali ingatan masa lalu; mengenai sosok Salinem dan bagaimana beliau bisa sampai pada keluarga ayah Tyo. Sejarah terulang, bagian terbaik dan terburuk terlewati, hingga sampai pada kesimpulan bahwa pecel buatan Mbah Nem harus hidup kembali. Namun, percobaan yang kesekian kali tidak juga mengembalikan rasa pecel itu.
Pertama, pas lihat ketebalan bukunya sempat ragu apa buku ini bakal seru ya, atau at least nggak berpotensi membosankan. Satu halaman berlanjut ke halaman lain, target sehari 100 halaman dan wow I did. Biasanya susah, ini alurnya ngalir banget. Macam sungai bebas sampah dengan arus deras. Genre hisfic yang kubaca masih sangat sedikit, jadi nggak terlalu bisa mengenali gimana historical fiction yang bagus itu. Jika buku ini disebut bagus, maka menurut ukuranku ini luar biasa.
Kedua, walaupun yah kalau dilihat emang banyak bagian yang "pindah kepala", tapi anehnya aku fine. Kayak nggak terlalu menjengkelkan. Mungkin ada andil mood juga, entahlah. Alurnya maju mundur. Salah satu hal yang aku suka dari buku ini; alur majunya nggak mendahului bagian alur mundur. Waktu masuk alur maju bakal dikasih kejutan, "oh, ternyata ini". Di masa lalu walaupun mundurnya jauh banget, tapi seru banget. Malah apa ya, kayak ceritanya Salinem jadi utuh gitu dari awal sampai akhir.
Ketiga, unsur jawanya kental banget. Bagi aku yang emang asli etnis jawa, bacanya tanpa catatan kaki nyaman-nyaman, tapi mikir juga sih, kalau yang nggak bisa jawa sama sekali tanpa dikasih catatan kaki gimana, ya. Beberapa aja yang emang jawanya jawa banget (nah, gimana tuh) dikasih, kalau cuma satu dua kata sih, enggak. Agak tidak expect ceritanya bakal secampur aduk itu.
Aku juga bingung mau nulis apa karena ini bagussss banget. Yang aku sayangkan cuma kenapa nggak ada teman buat baca bareng karena alih-alih nulis reviu ngalor-ngidul yang intinya ini buku perfect. Selesai baca ini aku cuma pengin fangirl-an aja. Mbah Nem, you catch my heart <3
Buku ini kemungkinan besar buku terbaik yang aku baca sampai pertengahan tahun ini, atau malah mungkin terbaik di tahun ini kalau 6 bulan ke depan nggak nemu saingannya haha. Mesti banget dibaca sekali seumur hidup!
Sebelum masuk bagian reviu, mau warning dulu kenapa aku suka banget sama buku ini atau reviunya kerasa subjektif banget. Buku itu soal selera, kan? Bagiku, buku ini masuk sama taste-ku dan dari awal sampai akhir nggak bikin dahi mengerut apalagi bikin geleng-geleng karena ada aja batu sandungannya.
Ini cerita soal cucu Mbah Salinem, Tyo, yang baru mengetahui identitas asli Mbah Nem setelah beliau meninggal. Kenyataan bahwa Salinem bukan nenek kandungnya membawa kembali ingatan masa lalu; mengenai sosok Salinem dan bagaimana beliau bisa sampai pada keluarga ayah Tyo. Sejarah terulang, bagian terbaik dan terburuk terlewati, hingga sampai pada kesimpulan bahwa pecel buatan Mbah Nem harus hidup kembali. Namun, percobaan yang kesekian kali tidak juga mengembalikan rasa pecel itu.
Pertama, pas lihat ketebalan bukunya sempat ragu apa buku ini bakal seru ya, atau at least nggak berpotensi membosankan. Satu halaman berlanjut ke halaman lain, target sehari 100 halaman dan wow I did. Biasanya susah, ini alurnya ngalir banget. Macam sungai bebas sampah dengan arus deras. Genre hisfic yang kubaca masih sangat sedikit, jadi nggak terlalu bisa mengenali gimana historical fiction yang bagus itu. Jika buku ini disebut bagus, maka menurut ukuranku ini luar biasa.
Kedua, walaupun yah kalau dilihat emang banyak bagian yang "pindah kepala", tapi anehnya aku fine. Kayak nggak terlalu menjengkelkan. Mungkin ada andil mood juga, entahlah. Alurnya maju mundur. Salah satu hal yang aku suka dari buku ini; alur majunya nggak mendahului bagian alur mundur. Waktu masuk alur maju bakal dikasih kejutan, "oh, ternyata ini". Di masa lalu walaupun mundurnya jauh banget, tapi seru banget. Malah apa ya, kayak ceritanya Salinem jadi utuh gitu dari awal sampai akhir.
Ketiga, unsur jawanya kental banget. Bagi aku yang emang asli etnis jawa, bacanya tanpa catatan kaki nyaman-nyaman, tapi mikir juga sih, kalau yang nggak bisa jawa sama sekali tanpa dikasih catatan kaki gimana, ya. Beberapa aja yang emang jawanya jawa banget (nah, gimana tuh) dikasih, kalau cuma satu dua kata sih, enggak. Agak tidak expect ceritanya bakal secampur aduk itu.
Aku juga bingung mau nulis apa karena ini bagussss banget. Yang aku sayangkan cuma kenapa nggak ada teman buat baca bareng karena alih-alih nulis reviu ngalor-ngidul yang intinya ini buku perfect. Selesai baca ini aku cuma pengin fangirl-an aja. Mbah Nem, you catch my heart <3
Buku ini kemungkinan besar buku terbaik yang aku baca sampai pertengahan tahun ini, atau malah mungkin terbaik di tahun ini kalau 6 bulan ke depan nggak nemu saingannya haha. Mesti banget dibaca sekali seumur hidup!