Scan barcode
A review by blackferrum
A untuk Amanda by Annisa Ihsani
5.0
Mulai dari kalimat pertama sampai terakhir aku hanya bisa bengong. Semua yang Amanda alami adalah permasalahan dan dilema beberapa orang. Kebanyakan orang terkadang tidak sadar mengalami depresi. Ciri-cirinya juga terlalu lembut kadang. Well, salut sama Amanda yang berhasil bertahan di tengah-tengah "tuntutan" dari berbagai sisi.
Banyak banget yang masuk bookmark dan yah buku ini memang berhasil imprss me. Pertama, bagian mimpi pertama Amanda di pengadilan. Semua tuduhan serta merta membuat ketakutan dan concernya jadi nyata. Hah, terkadang aku pun juga pernah berpikir jika tidak pintar sama sekali, hanya bejo saja. Pasti banyak kalian yang berpikir begitu, bukan?
Lalu, bagian kedua adalah saat Amanda bertemu Rashid ketika hendak membeli koin. Yah, tidak salah, sama sekali tidak ada yang salah jika kita hanya mau bersenang-senang. Ucapan Rashid juga tidak salah karena apa yang dia kerjakan adalah prinsipnya. Tapi lagi-lagi Amanda merasa ke-trigger. Aku sempat berpikir, sih, kebanyakan dari kita pasti mengalami fase aku-harus-melakukan-itu-juga (dalam konteks ikut-ikutan belajar atau melakukan hal positif lain), dan akan sangat berdosa jika melakukan hal lain. Misal seperti jika musim ujian harusnya kita belajar, tetapi karena jenuh akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin alih-alih belajar. Pasti ada setitik rasa bersalah ketika melihat teman-teman yang lain belajar daripada pergi ke kantin.
Ketiga, soal ketakutan Amanda akan nilai di bawah A-nya, sampai-sampai mengalami muntah dan ibunya menganggap dia kena bulimia. Duh, rasanya pedih banget. Seperti kata Dokter Eli, "... Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan atas dirimu sendiri." (Halaman 253).
Banyak sekali yang bisa aku terapkan di sini. Beberapa soal cara menghadapi kepanikan, seperti yang disarankan Erwin: ambil napas selama 4 detik, tahan selama 7 detik, lalu hembuskan lewat mulut selama 8 detik. Endingnya juga realistis dan pas. Definisi happy ending menurutku sih. Eh, nggak happy banget tapi cukup senang karena Amanda bisa .... (haha, spoilernya sampai sini saja).
Banyak banget yang masuk bookmark dan yah buku ini memang berhasil imprss me. Pertama, bagian mimpi pertama Amanda di pengadilan. Semua tuduhan serta merta membuat ketakutan dan concernya jadi nyata. Hah, terkadang aku pun juga pernah berpikir jika tidak pintar sama sekali, hanya bejo saja. Pasti banyak kalian yang berpikir begitu, bukan?
Lalu, bagian kedua adalah saat Amanda bertemu Rashid ketika hendak membeli koin. Yah, tidak salah, sama sekali tidak ada yang salah jika kita hanya mau bersenang-senang. Ucapan Rashid juga tidak salah karena apa yang dia kerjakan adalah prinsipnya. Tapi lagi-lagi Amanda merasa ke-trigger. Aku sempat berpikir, sih, kebanyakan dari kita pasti mengalami fase aku-harus-melakukan-itu-juga (dalam konteks ikut-ikutan belajar atau melakukan hal positif lain), dan akan sangat berdosa jika melakukan hal lain. Misal seperti jika musim ujian harusnya kita belajar, tetapi karena jenuh akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin alih-alih belajar. Pasti ada setitik rasa bersalah ketika melihat teman-teman yang lain belajar daripada pergi ke kantin.
Ketiga, soal ketakutan Amanda akan nilai di bawah A-nya, sampai-sampai mengalami muntah dan ibunya menganggap dia kena bulimia. Duh, rasanya pedih banget. Seperti kata Dokter Eli, "... Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan atas dirimu sendiri." (Halaman 253).
Banyak sekali yang bisa aku terapkan di sini. Beberapa soal cara menghadapi kepanikan, seperti yang disarankan Erwin: ambil napas selama 4 detik, tahan selama 7 detik, lalu hembuskan lewat mulut selama 8 detik. Endingnya juga realistis dan pas. Definisi happy ending menurutku sih. Eh, nggak happy banget tapi cukup senang karena Amanda bisa .... (haha, spoilernya sampai sini saja).