A review by belandjar
Pasung Jiwa by Okky Madasari

5.0

Menyelesaikan reading challenge pertamaku di makan siang hari ini. Sayang sekali, cerita ini ditutup dengan antiklimaks. Meski, secara keseluruhan aku menyukai cerita yang disuguhkan oleh Mbak Okky. Gaya tulisannya pun telah memikatku sejak kali pertama. Jadi, ya wajar saja kalau kuberikan semua bintang yang ada untuk tulisannya.

Aku merasa bahwa Pasung Jiwa adalah sebuah bentuk protes atas kondisi sosial yang tidak adil untuk banyak hal, bukan hanya untuk orang-orang seperti Sasa tapi juga protes atas apa yang dilakukan oleh Jaka Baru dan kelompoknya.

Dari buku ini, aku kembali mengenal soal kemanusiaan dan kebebasan dalam makna yang lebih luas dan dalam dibandingkan sebelumnya. Meski tak sepenuhnya aku bias setuju dan mengamini soal spektrum lain di luar maskulinitas dan feminisme atau laki-laki dan perempuan, aku cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Sasa tidak seperti yang kubayangkan. Ia menjadi contoh kekayaan spektrum seksualistas manusia yang kurasa, aku perlu menggalinya lebih dalam lagi untuk lebih memahami.

Selain itu, Mbak Okky pun menunjukkan cinta kasih orang tua yang benar-benar tak terbatas dan tak meminta balasan. Ibu Sasana yang memutuskan untuk pergi dan mendampingi anaknya meski banyak sekali orang menolaknya. Ia bahkan mendukung Sasa sepenuh hati, menyemangati Sasa dan mendorongnya untuk tidak setengah-setengah dalam menggapai impian, yang juga kebebasannya.

Untuk transformasi Jaka Wani menjadi Jaka Baru, aku cukup terhubung dengan hal ini karena pernah berada di lingkungan yang sama dengan kelompok ini. Namun, aku tidak tahu dengan detail kegiatan mereka kecuali ceramah sampai dengan pukul 23.00 setiap Rabu malam yang jelas mengangguku. Sebab ceramah mereka bukanlah ceramah yang dicontohkan oleh Rasul yang lemah lembut dan merangkul umat. Ceramah mereka berisik dan penuh dengan menghardik. Aku tak suka.

Tetapi ketika Mbak Okky membawa sisi ini ke dalam bukunya, aku jadi mengetahui lebih banyak. Mereka orang-orang yang berlindung di balik agama padahal bertindak semena-mena. Seakan paling sholeh karena membela dan memperjuangkan agama, padahal mereka juga melakukan perbuatan dosa: menghancurkan milik orang lain, meminum bir yang mereka curi atau bahkan melecehkan orang yang mereka anggap nista, seperti Sasa. Belum lagi, kongkalikong dengan pihak kepolisian. Jengah sekali aku membacanya.

Untuk perkembangan karakternya, aku tetap suka Sasa, entah dia menjadi Sasa atau Sasana. Sama saja. Sementara, Cak Jek, Jaka Wani atau Jaka Baru sekalipun, di mataku tak lain hanyalah pecundang. Aku menganggap dia tokoh antagonis di sepanjang cerita ini. Ia yang menjerumuskan Sasana menjadi Sasa, kehilangan banyak hal dalam hidupnya tapi dengan sok pahlawan kembali datang dan menawarkan kebebasan. Lucu sekali. Sungguh naif.

Jadi, begitulah perjalananku dengan Pasung Jiwa selama hampir satu bulan ini. Sebuah buku yang ku beli untuk mengikuti reading challenge dan aku tidak merasa rugi sama sekali.