You need to sign in or sign up before continuing.

clavishorti's reviews
108 reviews

The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) by Sōji Shimada

Go to review page

challenging dark emotional mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Novel The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) karya Soji Shimada membuka pintu menuju misteri gelap dan penuh teka-teki yang terjadi di Jepang, sebuah kisah yang melibatkan pembunuhan-pembunuhan yang tetap tak terpecahkan selama lebih dari 40 tahun. Bahkan pihak kepolisian maupun detektif-detektif ulung tak mampu menemukan jawaban yang memuaskan. Cerita ini mengeksplorasi tiga kasus pembunuhan beruntun yang mengerikan, masing-masing penuh dengan liku-liku yang mengguncang dan menguji logika. Semua bermula dengan kematian seorang seniman nyentrik yang menyimpan obsesi mengerikan.
 
Heikichi Umezawa, sang seniman dan kepala keluarga yang terkenal dengan karya-karya surealisnya, ditemukan tewas mengenaskan di studio pribadinya. Sebuah hantaman benda tumpul mengakhiri hidupnya, namun itu baru permulaan dari misteri yang lebih dalam. Ruangan di mana ia ditemukan terkunci rapat dari dalam, seakan memberi petunjuk bahwa kematian ini bukan sekadar pembunuhan biasa, tetapi sebuah permainan penuh tipu muslihat yang kompleks. Di dekat tubuhnya, ditemukan sebuah surat wasiat yang mengejutkan semua orang. Heikichi merencanakan penciptaan seorang wanita sempurna, yang disebutnya ‘Azoth’, yang akan ia bentuk dari potongan tubuh perempuan-perempuan muda di keluarganya sendiri. Rencana ini bukan hanya menggila, tetapi juga memantik kecurigaan, mungkinkah ia adalah korban dari obsesinya sendiri?
 
Namun, misteri tidak berhenti di sana. Tak lama setelah kematian Heikichi, Kazue Kanemoto, putri tiri sang seniman, ditemukan tewas dengan cara yang tak kalah kejam. Kepala Kazue dihantam dengan vas beling, dan di tubuhnya ditemukan bukti adanya kekerasan seksual. Kejahatan yang brutal ini membawa cerita ke babak baru yang semakin kelam. Polisi dan penyelidik berusaha keras untuk menghubungkan titik-titik antara kedua kasus ini. Apakah kematian Kazue adalah bagian dari rencana gila Heikichi? Ataukah ada dalang lain yang lebih berbahaya di balik semua ini? Bukti yang ada tak cukup kuat untuk mengaitkan kedua kematian tersebut, namun ada kesan kuat bahwa kedua peristiwa ini terhubung oleh benang merah yang tidak kasat mata.
 
Pembunuhan ketiga mengguncang Tokyo dengan cara yang tak terbayangkan. Satu per satu, gadis-gadis dari keluarga Umezawa ditemukan tewas mengenaskan. Tubuh mereka dimutilasi dengan presisi mengerikan, masing-masing kehilangan satu anggota tubuh, dan bagian-bagian tubuh tersebut tersebar di berbagai lokasi dengan kedalaman yang berbeda-beda. Penemuan ini menambah lapisan baru pada misteri yang sudah begitu rumit. Semua detail pembunuhan ini mengingatkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh Heikichi Umezawa—sebuah rencana untuk menciptakan sosok Azoth dari potongan-potongan tubuh perempuan. Apakah ini kebetulan yang terlalu mencolok? Ataukah ada seseorang yang melanjutkan mimpi gila Heikichi setelah kematiannya?
 
Novel ini mengajak pembaca untuk menyelami teka-teki yang mengelilingi ketiga kasus pembunuhan tersebut. Upaya penyelidikan yang telah dilakukan dengan intensif, termasuk oleh polisi, tetap tidak mampu mengungkap identitas pelaku atau motif di balik serangkaian kejahatan ini. Lalu, di tahun 1979, muncul secercah harapan ketika sebuah dokumen misterius diserahkan kepada Kiyoshi Mitarai. Sosok ini bukan detektif biasa; dia adalah seorang astrolog eksentrik yang juga memiliki bakat sebagai peramal nasib. Dengan didampingi Kazumi Ishioka—ilustrator dan penggemar kisah detektif—Kiyoshi Mitarai mulai melacak jejak pelaku pembunuhan, serta pencipta Azoth yang seolah hilang ditelan bumi.
 
Saya pribadi merasa sangat menikmati perjalanan dalam buku The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo). Soji Shimada berhasil menyajikan sebuah cerita penuh intrik yang memaksa pembaca untuk terus berpikir: siapa sebenarnya pelaku, bagaimana metode pembunuhannya, dan apa alasan di balik kejahatan yang begitu keji ini? Kebetulan saya membaca versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Barokah Ruziati, dan sejak awal, saya sudah merasa tertantang oleh banyaknya karakter yang diperkenalkan. Saya harus sering merujuk ke catatan nama-nama tokoh untuk memastikan tidak kehilangan arah dalam mengikuti alur cerita yang rumit namun tetap memikat.
 
Novel ini memang padat dengan berbagai informasi dan detail yang menuntut perhatian penuh dari pembaca. Saya merasa, untuk bisa menikmati kisah ini dengan baik, kita harus benar-benar menyimak setiap petunjuk dan dialog yang ada. Namun, saya juga merasa sedikit frustrasi pada bagian di mana Kiyoshi Mitarai dan Kazumi Ishioka mulai melakukan penyelidikan mereka. Terkadang, mereka tampak seperti berputar-putar di tempat tanpa kemajuan yang berarti. Saya sempat bertanya-tanya, apakah ini adalah cara Soji Shimada untuk mempermainkan kesabaran pembaca, atau mungkin untuk menambah kedalaman pada karakter dan dinamika mereka? 
 
Mungkin penulis sengaja menghadirkan ketidaksabaran ini untuk menciptakan rasa cemas dan mendalam, untuk membuat kita merasa seolah-olah kita sendiri terjebak di tengah teka-teki yang belum terpecahkan ini. Ketika saya membaca lebih lanjut, saya menyadari bahwa setiap percakapan dan tindakan, seberapa pun tampaknya membingungkan atau bertele-tele, sebenarnya mengandung petunjuk-petunjuk tersembunyi.

Menjelang akhir cerita, rasa penasaran saya kembali membara. Ketegangan yang terus meningkat membuat saya tidak sabar menantikan kejutan apa yang akan diungkap. Tanpa adanya bocoran atau petunjuk sebelumnya, saya benar-benar terkejut ketika akhirnya mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik misteri ini. Penulis, Soji Shimada, menunjukkan kecerdikan luar biasa dengan menghadirkan kejutan yang tak terduga sebagai kunci utama dalam keseluruhan cerita.  Kejutan ini benar-benar menyentak dan memberikan dimensi baru yang menyegarkan bagi keseluruhan narasi. Saya merasa bahwa penulis telah berhasil menciptakan akhir yang memuaskan sekaligus menggugah pikiran, yang tentunya meninggalkan kesan mendalam bagi saya sebagai pembaca. 
 
Saya sangat merekomendasikan The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo) karya Soji Shimada kepada siapa saja yang menyukai teka-teki pembunuhan yang kompleks dan menantang. Meskipun ada bagian-bagian yang terasa bertele-tele, terutama dalam narasi Kiyoshi Mitarai dan Kazumi Ishioka, ketelitian dan kesabaran pembaca akan terbayar dengan pengalaman membaca yang memuaskan dan penuh kejutan. Dengan memperhatikan setiap detail dan tetap fokus, pembaca akan dapat menghargai betapa briliannya plot cerita ini dan bagaimana setiap elemen saling terkait untuk membentuk gambaran yang utuh.

Expand filter menu Content Warnings
Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad by Lee Jong-Kwan

Go to review page

adventurous challenging emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dapat menyelami karya Lee Jong-kwan yang berjudul Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad. Saya memilih edisi terjemahan bahasa Indonesia yang dengan penuh dedikasi diterjemahkan oleh Lusiani Saputra, dan pengalaman membaca ini jauh melampaui ekspektasi saya. Memasuki cerita dalam buku ini seperti membuka jendela menuju dunia misteri yang rumit namun menggugah rasa ingin tahu. 
 
Alur cerita dalam buku ini sangatlah cerdas dan menawan. Lee Jong-kwan dengan keterampilannya yang luar biasa berhasil membangun setiap lapisan cerita dengan penuh detail. Sejak halaman pertama, saya merasa seperti terjun langsung ke dalam kisah yang penuh dengan ketegangan dan intrik. Setiap bab membawa saya semakin dalam ke dalam misteri yang harus dipecahkan, dan penulis dengan mahir menjaga rasa penasaran saya. Karakter-karakter dalam buku ini terasa hidup, dan perjalanan mereka benar-benar membuat saya merasa terlibat. Saya merasakan setiap perubahan dalam alur cerita dan setiap kejutan dengan sangat mendalam, seolah-olah saya menjadi bagian dari cerita itu sendiri. 
 
Kejutan-kejutan yang penulis hadirkan sepanjang buku benar-benar efektif dalam memikat perhatian saya. Setiap perkembangan baru dalam cerita menambah ketegangan dan rasa ingin tahu saya tentang bagaimana semua elemen cerita akan terhubung. Kejutan-kejutan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga memicu semangat saya untuk terus membalik halaman dan mencari tahu bagaimana kisah ini akan berakhir. Kepiawaian Lee Jong-Kwan dalam merajut cerita yang kompleks dan penuh kejutan membuat pengalaman membaca ini sangat memuaskan. 
 
Di luar cerita yang memikat, saya juga sangat terkesan dengan desain sampul buku ini. Ilustrasi sampul karya Astried Maulidya dan Disa Pracita Dewi tidak hanya menarik perhatian saya, tetapi juga menggugah rasa penasaran sejak pertama kali melihatnya. Gambar-gambar yang dipilih, tata letak yang elegan, dan pemilihan warna yang cermat semuanya bekerja sama untuk menciptakan tampilan visual yang memikat dan sesuai dengan esensi cerita. Setelah menyelesaikan buku, saya baru menyadari betapa banyak elemen penting dari cerita yang sebenarnya telah dihadirkan dalam ilustrasi sampul, sebuah detail yang menambah dimensi baru pada pengalaman membaca saya. 
 
Bagi para pecinta misteri dan teka-teki, terutama mereka yang menikmati bumbu-bumbu petualangan detektif, saya sangat merekomendasikan buku ini. Selama membaca Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad karya Lee Jong-kwan, saya benar-benar merasakan bagaimana setiap lembar ceritanya memikat dan tidak membuat bosan. Lee Jong-Kwan telah berhasil menciptakan sebuah karya yang sangat layak untuk dibaca, sebuah pengalaman membaca yang akan memuaskan dan meninggalkan kesan mendalam bagi setiap penggemar genre ini. 

Expand filter menu Content Warnings
The Vegetarian by Han Kang

Go to review page

challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Kim Yeong-hye, an ordinary woman trapped in the monotony of her everyday life, is suddenly ensnared by haunting nightmares. These spectral visions, awash with blood and chaos, disrupt her reality in ways she never imagined. In a desperate attempt to escape the terror of her own mind, she makes an unconventional choice—vowing to forsake all meat. But this seemingly minor decision is only the beginning of a much deeper and more unsettling transformation. As Yeong-hye is drawn further into a silent rebellion that morphs into something far more sinister, she plunges into an abyss that defies human comprehension. 
 
Where will this eerie journey lead her? 
 
 
The term ‘vegetarian’ might be familiar, but its meaning has evolved beyond a simple dietary choice. What was once seen as a mere preference has now become a lifestyle—an expression of deep moral, ethical, and health convictions. Essentially, vegetarianism focuses on a plant-based diet, excluding all forms of meat and sometimes even products derived from animal slaughter. Those who follow this practice are known as vegetarians. 
 
In The Vegetarian by Han Kang, we meet a protagonist whose experience is anything but ordinary. She wakes up sweating, haunted by nightmarish shadows that radically alter her view of the world. This dream makes her see life and death through a new lens, leading her to believe that quitting meat is not just a choice but an undeniable necessity. Yet, her decision to become a vegetarian spirals into something far more extreme, more terrifying, and potentially more dangerous as the lines of normality start to fade. 
 
The phenomenon is intriguing, as vegetarianism and even veganism are now seen as conventional and widely accepted. But what if such a dietary shift happens under extreme circumstances? What if this decision triggers a series of horrifying events that shatter the protagonist’s soul and disrupt the lives of those around her? Here’s where the book’s uniqueness and appeal come into play: it explores the depths of the human psyche through Kim Yeong-hye’s story—a woman whose simple choice to stop eating meat unravels into a complex web of conflict, both within herself and her surroundings. 
 
The book is structured in a compelling way, divided into three chapters, each offering a different perspective. However, what makes it stand out is that none of these viewpoints belong to Kim Yeong-hye herself. The story is told through the eyes of those around her: her husband, Mr. Cheong; her brother-in-law, the spouse of her sister; and her sister, Kim In-Hye. This approach lets us see how Kim Yeong-hye’s choice to become a vegetarian is perceived by her close circle, how it impacts their lives, and ultimately, how it forces them to confront their own often dark realities. These three chapters guide us through an emotional journey filled with conflict, revealing the deepest layers of each character and making us question what really lies beneath the surface. 
 
In the first chapter, “The Vegetarian”, we delve into the radical choice of Kim Yeong-hye. From Mr. Cheong’s perspective, her decision to stop eating meat is seen as an unforgivable rebellion. Mr. Cheong, with his conservative views, believes a wife should adhere to societal norms and be submissive. His cynical and scornful attitude towards his wife reflects a deep-seated patriarchal mindset; he views Kim Yeong-hye’s choice as both shameful and a threat to their marital harmony. This chapter reveals Kim Yeong-hye’s life as an emotionally isolated wife, trapped in a loveless marriage, shrouded in unspoken darkness.
 
 
But the tension doesn’t stop there. We learn that Kim Yeong-hye has lived under the shadow of violence since childhood. Her father, an authoritarian figure, was harsh, often using physical violence as punishment and control. From a young age, she was accustomed to a life of repression and fear, where her voice went unheard and her will unappreciated. This childhood trauma seems to be the root of her inner conflict, pushing her towards a personal rebellion through a choice that might seem trivial but is deeply significant. Her decision to become a vegetarian is not just about rejecting meat; it’s an attempt to break free from the chains of control that have bound her life since childhood—chains once held by her father and now by her husband.
 
Through this carefully crafted chapter, the author critiques the patriarchal system and a society burdened with rigid social standards. Kim Yeong-hye’s choice to become a vegetarian symbolizes resistance against these norms. The story highlights how women are often trapped in cycles of recurring violence—both physical and psychological—due to oppressive social and cultural demands. “The Vegetarian” invites deep reflection on freedom and self-identity. Kim Yeong-hye’s decision is a symbol of a profound search for self, an effort to escape external control and discover true meaning in life. Yet, it also underscores the difficulty of being oneself in a world that doesn’t always welcome differences and bravery.
 
In the second chapter, “Mongolian Mark”, we’re drawn into a provocative and unsettling story through the eyes of an anxious narrator—Kim Yeong-hye’s brother-in-law, a man increasingly consumed by his dark obsession. This man, who is married to Kim Yeong-hye’s sister, Kim In-hye, discovers what he believes is a hidden gateway to his repressed fantasies when he sees a Mongolian mark on his sister-in-law’s body. The Mongolian mark, a faint blue birthmark common among Asian babies, should be normal, but to him, it becomes an exotic, mystical, and erotic symbol—an obsession that gradually erodes his morality. He views this mark not merely as a physical oddity but as a symbol of primitive and wild allure, igniting his artistic instincts and awakening desires far beyond the bounds of propriety.
 
As the story unfolds, the seemingly calm brother-in-law reveals his darker side, full of manipulation. Behind the façade of a visual artist, he is, in truth, a predator closely observing his prey. He becomes obsessed with creating an art project that uses Yeong-hye’s body as a canvas, painting symbolic flowers on her skin, as if her body were merely a lifeless object he could shape to his whims. Yet, beneath this artistic pretense lies a cover for his insatiable sexual desire for Yeong-hye. This obsession goes beyond admiration and transforms into a pressing urge to conquer, dominate, and possess.
 
In his mind, art and sexual desire blur into a mix of passion and power. He doesn’t see Yeong-hye’s body as something valuable or sacred but as raw material to exploit for his own depraved fantasies. He views Yeong-hye not as a human with feelings, boundaries, or traumas but as an object to be polished, manipulated, and molded into whatever he desires. His desire turns him into a cunning and manipulative figure; he uses his influence and position to coerce Yeong-hye into his planned art project, disregarding her will or consent. Here, the lines between love and violence, art and torture, become disturbingly thin and blurred.
 
 
The author effectively portrays the brother-in-law as a representation of patriarchal power, using women’s bodies as tools for personal gratification. In his actions, he disregards all moral and ethical norms, using art as an excuse to justify his horrific deeds. He manipulates situations to serve his own selfish needs, ignoring the damage he inflicts on Yeong-hye’s life and psychological well-being. In doing so, he reveals the vulnerability of women under the shadow of male control and domination, even within a supposedly safe environment like family.
 
 
This chapter forces readers to confront the harsh reality of how art, when twisted by depraved individuals, can become an instrument of violence. The brother-in-law not only crosses ethical boundaries in art but also moral boundaries as a human being. He demonstrates that when desire and power run unchecked, even the most beautiful things, like art, can become tools of destruction. Here, the author challenges readers to reflect on how uncontrolled desires can manifest in the most dangerous forms and how the boundaries between art, power, and devastation are often much thinner than we imagine.
 
 
In the third chapter, “Flaming Trees”, we dive into Kim In-hye’s world, Kim Yeong-hye’s sister, who is now ensnared in her own labyrinth of confusion. This chapter delves deeply into how Yeong-hye’s radical decision impacts her family, especially Kim In-hye. Yeong-hye’s extreme step to become a tree doesn’t just create turmoil in her own life but also sets off a destructive domino effect around her. This choice is a radical statement against a monotonous and restrictive life, an attempt to escape a mundane routine and seek peace in a purer form of existence.
 
 
Kim In-hye, who once appeared strong and stable, now faces profound emotional turmoil. Watching her sister embrace life as a tree, In-hye must confront the bitter reality of a life that has failed to fulfill her hopes and desires. Her empty marriage, monotonous daily routine, and the weight of single motherhood exacerbate her feelings of loneliness and confusion. Her husband, after being involved in a scandal with Yeong-hye, has left, leaving In-hye in solitude, forcing her to confront her circumstances head-on.
 
 
Here, the author presents a stark contrast between the life principles of Kim Yeong-hye and Kim In-hye. While Yeong-hye rejects social norms and seeks a more authentic and natural way of living, Kim In-hye is trapped in a conventional world that increasingly confines her. This difference creates a deep rift, intensifying the tension in their relationship. Yeong-hye’s decision to defy conformity not only shakes up her personal life but also forces those around her to reassess their own life meanings. Amidst the chaos, In-hye must reflect on her own existential meaning and how these differing values have impacted every aspect of her life.
 
 
This chapter is not just about the impact of extreme decisions on a family but also about how trauma and suffering can ripple out and create crises that force individuals to face often painful realities. By exploring the feelings and conflicts that arise, the author invites readers to contemplate their own lives and the challenges faced in their journey to find meaning and peace amidst the chaos.
 
 
The Vegetarian by Han Kang, masterfully translated into English by Deborah Smith, beckoning anyone eager to immerse themselves in a narrative that is both profoundly unique and deeply resonant. Far beyond a mere story, this novel dives into essential themes—life, personal choices, and, above all, the female experience in society. With its mesmerizing prose and a plot brimming with unexpected turns, The Vegetarian demands introspection and challenges readers to unravel the intricate layers of human existence. Every page offers an emotional odyssey, awakening the soul and igniting reflection.

Expand filter menu Content Warnings
Belenggu by Armijn Pane

Go to review page

adventurous challenging emotional mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Dalam khazanah sastra roman klasik Indonesia, seringkali terhampar kisah-kisah cinta yang sarat dengan onak duri dan halangan, di mana hubungan antara tokoh-tokoh kerap terjegal oleh perbedaan status sosial yang mencolok atau konflik keluarga yang kian meruncing. Kisah-kisah ini tak hanya menyoroti permasalahan cinta, tetapi juga menyelami kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan cerminan adat istiadat, kebiasaan, dan norma sosial yang begitu kental dengan suasana zamannya. Karya-karya ini sering pula berfungsi sebagai cermin kritik sosial, mengangkat isu ketidakadilan dan kesenjangan yang menggerogoti tatanan masyarakat, sembari menanamkan nilai-nilai moral dan etika melalui perjalanan karakter-karakter yang penuh warna. Roman klasik juga tak jarang memadukan elemen sejarah dan politik, menyatukan narasi dengan peristiwa-peristiwa penting yang membentuk konteks sejarah. 
 
Dari sinilah rasa ingin tahu saya mulai tumbuh, mendorong keinginan untuk menyelami karya sastra roman klasik Indonesia lebih dalam. Pilihan saya jatuh pada Belenggu, sebuah karya paling tersohor yang ditulis oleh Armijn Pane, terbit pada tahun 1940. Buku ini menawarkan gaya bahasa yang khas dan unik, merefleksikan nuansa sastra pada masa tersebut. Meskipun gaya bahasa tersebut mungkin memerlukan penyesuaian bagi pembaca modern, saya menemukan diri saya segera tenggelam dalam alur cerita tanpa banyak kesulitan. 
 
Belenggu tidak hanya mengikuti jejak roman klasik yang umumnya mengangkat konflik cinta dan status sosial, tetapi ia juga mengusung tema yang lebih berani dan kontroversial. Penulis mengangkat topik
perselingkuhan
dan pemberontakan terhadap patriarki—sebuah isu yang dianggap tabu pada zamannya, dan mungkin juga pada masa kini. Melalui tokoh utamanya, seorang dokter dan istrinya, Armijn Pane menggambarkan ketidakpatuhan terhadap norma-norma patriarki yang mendominasi masyarakat. Istri sang dokter, yang menolak untuk tunduk pada norma-norma patriarki, menghadapi cemoohan dan penilaian sosial yang keras. Karya ini memaparkan dinamika rumah tangga yang kompleks, dengan konflik yang mencuat antara ekspektasi masyarakat dan keinginan pribadi tokoh-tokohnya. Melalui konflik tersebut, penulis tidak hanya menyentuh aspek moral dan sosial, tetapi juga mengundang refleksi mendalam mengenai pandangan agama dan norma-norma yang mengikat masyarakat. 
 
Sebagai pembaca, saya merasa terlibat secara emosional dengan setiap ketegangan dan dinamika yang dihadirkan. Konflik yang digambarkan oleh Armijn Pane memicu ketegangan dan pemikiran yang mendalam, membawa saya pada refleksi pribadi mengenai isu-isu yang masih relevan hingga kini. Meskipun Belenggu karya Armijn Pane telah diterbitkan beberapa dekade lalu, daya tariknya tidak memudar, dan karya ini tetap mampu menyentuh hati dan pikiran pembaca dengan caranya yang khas.

Expand filter menu Content Warnings
Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls) by Karin Slaughter

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Sudah sejak lama saya merasa penasaran dengan karya-karya dari Karin Slaughter. Nama “Karin Slaughter” tampaknya tak pernah absen dari daftar rekomendasi ketika orang-orang diminta menyebutkan novel dengan genre thriller terbaik. Dengan reputasinya sebagai penulis yang mahir merangkai cerita penuh ketegangan, serta ulasan positif yang menghiasi berbagai platform literatur, saya pun akhirnya memutuskan untuk mencoba salah satu karyanya. Saya memilih Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls), versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Gloria Saripah Patara. Judul tersebut seolah menjanjikan sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri dan dinamika emosional yang kompleks, sesuatu yang menarik hati saya sejak awal. 
 
Saya menyelami halaman-halaman pertama dengan antusiasme yang tinggi. Di benak saya, harapan sudah terbangun sedemikian rupa—menggambarkan narasi yang akan memikat dan membuat saya terpaku hingga halaman terakhir. Namun, semakin jauh saya membaca, semakin saya merasa tersesat. Kesulitan pertama yang saya temui adalah memperjelas siapa tokoh-tokoh utama di dalam cerita ini. Nama-nama bermunculan tanpa konteks yang memadai, sementara latar belakang dan hubungan antar karakter terasa kabur. Situasi ini diperparah dengan penggunaan sudut pandang yang terus berganti; seolah-olah setiap bab memiliki suara naratif yang berbeda. Perubahan perspektif ini bukannya menambah kedalaman cerita, melainkan membuat saya semakin sulit mengikuti benang merahnya. Bahkan, terkadang saya merasa bingung dengan bagaimana karakter-karakter tersebut dipanggil, yang kadang terasa tidak konsisten. 
 
Dari segi cerita, saya sebenarnya merasa bahwa topik yang diangkat memiliki potensi yang luar biasa. Premis yang ditawarkan terasa cukup kuat untuk menarik minat pembaca yang menyukai ketegangan dan misteri sehingga saya tetap berusaha memberikan kesempatan. Saya berharap bahwa setelah melewati beberapa bab, kebingungan awal ini akan terurai dan cerita akan mulai mengalir dengan lebih lancar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alur cerita bergerak dengan ritme yang sangat lambat, sering kali mengulur-ulur tanpa ada perkembangan berarti. Saya sempat bertanya-tanya apakah ini adalah teknik yang sengaja digunakan penulis untuk menambah rasa misteri, namun lama-kelamaan rasa penasaran itu mulai meredup. Alih-alih dipenuhi dengan kejutan yang membuat saya ingin membalik halaman berikutnya, yang saya rasakan justru adalah kejenuhan. Plot yang lamban, dialog yang berkepanjangan, dan deskripsi yang seolah berputar di tempat membuat saya merasa terperangkap dalam sebuah cerita yang berjalan di tempat. 
 
Saya juga merasakan bahwa fokus cerita ini terlalu banyak diberikan pada aspek kejahatan dan kekerasan seksual, terutama terhadap wanita, yang digambarkan dengan sangat eksplisit dan brutal. Alih-alih fokus pada unsur thriller yang menegangkan, cerita ini justru lebih banyak menampilkan adegan-adegan siksaan yang tidak manusiawi terhadap wanita. Beberapa adegan terasa terlalu berlebihan, menimbulkan rasa mual dan ketidaknyamanan yang cukup mendalam. Hal ini bukan saja membuat saya merasa tidak nyaman, tetapi juga semakin membuat saya kehilangan energi untuk terus melanjutkan pembacaan. 
 
Kemudian, ada usaha dari penulis untuk menciptakan momen-momen kejutan, seakan ingin membawa pembaca ke puncak ketegangan dengan hal yang mengejutkan. Sayangnya, bagi saya, momen-momen ini terasa kurang efektif. Ketegangan yang diharapkan tidak benar-benar tercapai. Kejutan-kejutan yang ada hanya memberikan sedikit guncangan, tanpa meninggalkan kesan mendalam. Saya mendapati diri berharap pada setiap akhir bab akan ada sesuatu yang membuat saya tersentak, namun sampai akhir cerita, saya tak pernah menemui momen itu. Bahkan, ketika cerita mencapai klimaksnya, saya merasa bahwa penyelesaiannya datar dan antiklimaks, tidak memberikan resolusi yang memuaskan. 
 
Pada akhirnya, setelah menutup buku ini, saya merasa seolah baru saja melewati sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan, tanpa ada satu pun pemandangan yang menawan. Buku Putri-Putri Cantikku (Pretty Girls) karya Karin Slaughter, bagi saya, tidak memberikan kesan yang kuat atau menggugah, hanya meninggalkan rasa lelah dan sedikit kecewa. Mungkin saya akan mencoba karya Karin Slaughter yang lain di masa mendatang, dengan harapan bahwa buku berikutnya akan lebih baik, lebih terarah, dan lebih mampu menghidupkan kembali semangat saya dalam menikmati genre thriller.

Expand filter menu Content Warnings
CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E by Henny Triskaidekaman

Go to review page

adventurous challenging dark funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Diktator, wahai pembaca yang budiman, adalah sebuah lakon buruk yang dimainkan di panggung kekuasaan, namun namanya kerap disebut-sebut di seantero negeri—baik dengan bisik-bisik ketakutan maupun serapah yang disembunyikan. Bagai tangan besi yang terbalut sarung sutra, mengangkat dirinya menjadi penguasa mutlak, dan segala kehendak rakyat dianggapnya tiada lebih dari gumaman angin yang tiada berarti. 
 
Inilah yang dialami rakyat Wiranacita saat sang diktator, Zaliman Yang Mulia, menegakkan tahtanya. Dalam sekejap, kehidupan mereka berubah menjadi penuh ketidakpastian. Dengan sikap yang sekeras es dan penuh ketamakan, Zaliman mengeluarkan titah yang tak terduga. Setiap kata yang diucapkan harus tunduk pada aturan ketat, buku-buku pilihan disortir laksana barang haram, dan kamus—sebagai peti simpanan kata-kata—diganti demi melanggengkan kehendak kuasa. Seakan-akan, tirani ini tidak sekadar mencabut hak untuk berbicara, melainkan juga menghapus jejak-jejak yang mendefinisikan siapa mereka. 
 
Namun, di balik segala larangan dan titah yang membungkam suara rakyat, terpendam kisah-kisah rahasia yang menyentakkan. Adakah suatu saat, lentera kebenaran akan menerobos kegelapan yang membungkam rahasia-rahasia ini? 
 
 
Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman adalah sebuah karya yang termasuk dalam genre distopia, sebuah genre yang menampilkan pandangan tentang dunia yang suram dan mencekam. Dalam meneliti genre ini, beberapa sumber menyatakan bahwa istilah distopia menggambarkan masyarakat yang tertindas oleh kemiskinan, penderitaan, dan penindasan yang meluas. Karya-karya dalam genre ini sering kali mengeksplorasi bagaimana struktur sosial dan politik bisa merosot hingga mencapai titik keputusasaan yang mendalam. 
 
Dunia yang digambarkan dalam sastra distopia merupakan cermin dari potensi kehancuran yang mungkin terjadi apabila kekuasaan disalahgunakan atau kemajuan teknologi digunakan untuk menindas. Buku ini, dengan tajam dan jelas, mencerminkan gambaran suram tentang bagaimana keadaan masyarakat dapat runtuh dalam cengkeraman kekuasaan yang tidak adil. Ketika membaca Buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, saya merasakan bahwa pesan yang ingin disampaikan begitu mendalam dan sangat relevan, mengingat keadaan yang telah dan sedang berlangsung di berbagai penjuru dunia, dari masa lampau hingga saat ini. 
 
Buku ini, dalam narasinya yang penuh ketegangan dan refleksi, seolah mengundang pembaca untuk membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan bahwa apa yang terjadi dalam kisah tersebut tidak hanya merupakan imajinasi belaka, melainkan juga sebuah cermin dari potensi nyata yang mungkin tengah berlangsung di dunia kita. Pesan tersebut begitu tajam dan tepat sasaran, menegaskan bahwa ancaman seperti itu dapat mengancam kita setiap saat, jika kita tidak berhati-hati dalam mengawasi dan mengatur kekuasaan serta teknologi di tangan kita. 
 
Setelah menguraikan keunikan genre distopia yang membentuk latar belakang CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, marilah kita telaah dengan seksama bagaimana penulis, Henny Triskaidekaman, mengekspresikan kedalaman dan kematangan dalam karya ini. 
 
Saya merasakan betapa Triskaidekaman dengan penuh keahlian dan ketelitian membangun dunia di dalam buku ini. Setiap rincian, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, diciptakan dengan cermat dan teliti, sehingga menciptakan suasana yang sangat hidup dan nyata. Selain itu, karya ini juga memperkenalkan kita pada teknik lipogram, sebuah bentuk seni dalam penulisan yang memerlukan penulis untuk menghindari penggunaan huruf tertentu. Dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E, huruf yang harus dijauhi adalah huruf E, yang dalam bahasa kita merupakan huruf yang sangat lazim. Teknik ini menambahkan lapisan keunikan dan kreativitas yang luar biasa pada buku ini, menyoroti keterampilan penulis dalam menyusun kalimat dengan batasan yang ketat. Keberadaan teknik lipogram ini membuat buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E bersinar dengan keistimewaan tersendiri. 
 
Namun demikian, seperti halnya karya-karya lainnya, buku ini juga memiliki beberapa hal yang patut dicermati. Sebab dunia dalam CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E dibangun dari awal, pembaca mungkin merasa memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan segala aspek baru yang disajikan. Rasa asing terhadap latar dan cerita yang dihadapi bisa menjadi tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, penggunaan sudut pandang dari berbagai tokoh serta alur cerita yang padat menuntut konsentrasi ekstra agar pembaca tidak kehilangan arah di dalam narasi yang kompleks. 
 
Di balik segala kekurangan yang mungkin ada, saya menemukan kepuasan mendalam saat menyelami buku CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E. Pilihan bahasa yang dipergunakan oleh penulis, Henny Triskaidekaman, mengalir dengan ketegasan dan keindahan yang memikat, menghadirkan kesan yang tidak mudah dilupakan. Lebih jauh lagi, kejutan-kejutan yang menghiasi sepanjang cerita menambah daya tarik yang tak terduga. Setiap perubahan dan liku dalam narasi memandu pembaca dalam perjalanan yang penuh dengan penemuan baru. 
 
Dalam pandangan saya, CADL: Sebuah Novel Tanpa Huruf E karya Henny Triskaidekaman menghadirkan wawasan dan nilai yang mendalam. Buku ini layak untuk diterima dan dipahami oleh setiap pembaca yang mencari pemahaman tentang kepemimpinan dan dinamika masyarakat. Lebih dari sekadar hiburan, karya ini mengundang pembaca untuk merenungkan nasib bangsa kita, seandainya dipimpin oleh sosok seperti yang tergambar dalam buku ini. Dengan segala kelebihan dan tantangannya, buku ini bukan hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan pemikiran mendalam tentang masa depan kita sebagai sebuah bangsa. 

Expand filter menu Content Warnings
Cursed Bunny by Bora Chung

Go to review page

dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

I can’t deny that my first encounter with this book came through the buzz from countless voices repeatedly mentioning its title. They insisted it was a unique read, something to experience at least once in a lifetime. Intrigued, I decided to plunge into Bora Chung’s Cursed Bunny
 
Cursed Bunny is an audacious exploration that defies conventional genre boundaries and highlights the brilliance of this Korean author. Bora Chung skillfully intertwines elements of magical realism, horror, and science fiction, tackling themes of patriarchy and social issues in an extraordinarily bold way. Her approach is fearless, revealing even the smallest horrors without hesitation. Consequently, readers often find themselves pausing to catch their breath or taking time to fully digest the profound narratives. 
 
This anthology features ten intricately woven stories, each layered with complexity that might leave readers pondering their deeper meanings. As such, multiple readings are essential to unravel the rich tapestry of messages embedded within. What’s particularly fascinating is that each reader can interpret these stories through their own lens, which, in my view, is one of the book’s greatest strengths, prompting critical thought and deeper reflection. 
 
Next, I’d like to offer a glimpse into a few of the stories within Cursed Bunny. If you’re wary of spoilers, feel free to skip this part. 
 
In the first short story titled “The Head”, I found myself deeply moved and empathetic toward the main character, a woman burdened with overwhelming emotional weight. The narrative begins with her discovery of a ‘head’ that continues to haunt her. When she seeks help from those close to her, they merely suggest she forget about the head as long as it doesn’t disturb her. However, this head seems to serve as a metaphor for the emotional burdens and loneliness she experiences.

 
The appearance of the head coincides with significant moments in her life: as she steps into adulthood, begins her married life, when her child is born, and during the solitude of her old age. Each manifestation of the head marks a moment when she feels most vulnerable and isolated.
 
I perceive that the moment the head ultimately takes over her life is when she can no longer bear the weight of her loneliness. She becomes trapped in a profound cycle of solitude, represented by the head. However, this is merely my personal interpretation. I would love to hear other perspectives on this story if anyone has them.
 
 
The second short story, titled “The Embodiment”, also places a special emphasis on the female experience. Through a narrative that explores various aspects such as menstruation, contraception, pregnancy, aspirations, marriage, and even miscarriage, the author seems intent on conveying a profound message. Each of these elements is not merely a detail of life but a representation of the complexities and challenges women face throughout their lives.
 
In this story, it appears that the author aims to depict the intricacies of women’s lives. Menstruation, pregnancy, the use of contraceptives, and various societal expectations become burdens they must bear. Reflecting on how women navigate these biological processes—from menstruation to pregnancy—and the necessity of using contraception to manage their lives feels incredibly harsh and unjust.
 
Notably, the author embeds this social critique in sharp satire. The notion that taking too many contraceptive pills could lead to pregnancy is a brilliant twist. It underscores the irony and absurdity of the pressures women face regarding their own bodies. Through this satire, the author effectively critiques a society that often overlooks the burdens women endure, making the story not only engaging but also deeply reflective.
 
 
Meanwhile, the short stories “Cursed Bunny” and “Scars” focus more on the theme of revenge. Both narratives delve deeply into how revenge is a never-ending cycle that only brings suffering. The author illustrates that while revenge may provide fleeting satisfaction, it ultimately hurts the perpetrator and creates an unending cycle of hatred.
 
 
On the other hand, the stories “Snare” and “Ruler of the Winds and Sands” emphasize the theme of human greed. In these stories, the author clearly shows how greed can destroy a person’s life. Characters ensnared by their own avarice ultimately meet their downfall due to unchecked ambition, imparting the lesson that greed will consume us from within.
 
 
The author also introduces a tense horror element in “The Frozen Finger”. This story is filled with a chilling atmosphere and haunting sensations, adding thematic variety to the collection. Additionally, “Home Sweet Home” presents the story of a lonely woman who experiences betrayal, depicting profound feelings of isolation and disappointment.
 
 
The stories “Goodbye, My Love” and “Reunion” intertwine themes of loneliness and solitude. The author skillfully explores how these characters grapple with the shackles of their isolation. Loneliness becomes a strong thread running through these narratives, providing a deep emotional resonance for readers.


I had the pleasure of reading Cursed Bunny in its English translation by Anton Hur. From start to finish, the narrative flowed seamlessly, and I encountered no significant difficulties in grasping the stories. Anton Hur’s translation is nothing short of masterful; he meticulously preserves the nuances and intensity of Bora Chung’s original prose. His skillful translation ensures that the unique voice and unsettling atmosphere of each story resonate deeply with readers. 
 
Overall, the short stories in this collection emphasize themes related to women and complex social issues. The author skillfully captures various aspects of life, from revenge to loneliness and the unchecked greed of humanity. Each story encourages readers to reflect on the social and emotional realities faced by the characters, making this book both thought-provoking and captivating. For anyone seeking a bold and unique narrative, Cursed Bunny by Bora Chung is an excellent choice. 

Expand filter menu Content Warnings
Fantasteen Scary: Teru Teru Bozu by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Apakah kamu pernah mendengar tentang teru teru bozu? Boneka tradisional Jepang ini, dibuat dari kertas atau kain putih dan digantung di tepi jendela dengan benang, memiliki sejarah yang menarik. Pada zaman Edo, anak-anak dengan penuh harapan membuat teru teru bozu sambil bernyanyi, memohon agar cuaca cerah keesokan harinya.

Namun, pernahkah kamu membayangkan kisah menyeramkan yang tersembunyi di balik teru teru bozu? Lupakan sekadar boneka pengusir hujan yang biasa kamu kenal. Di dalam buku ini, teru teru bozu menjadi simbol kengerian yang menuntut nyawa. Bayangkan, di balik kain putih yang berkibar, tersembunyi sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada kertas atau kain perca.

Beranikah kamu membaca buku ini hingga akhir, mengetahui bahwa setiap lembar membawa ancaman yang lebih menakutkan dari sebelumnya?


Teru Teru Bozu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah salah satu buku dari seri Fantasteen yang telah saya tamatkan dengan penuh antusias. Dalam buku ini, saya dibawa menikmati petualangan cerita dengan latar tempat dan budaya Jepang yang sangat kuat dan autentik. Ziggy berhasil membangun suasana yang kaya akan detail, membawa pembaca langsung ke jantung kehidupan sehari-hari di Jepang dengan segala tradisinya.

Cerita ini berpusat pada kehidupan anak-anak sekolah, yang melalui sudut pandang mereka, kita diajak menyusuri berbagai peristiwa misterius dan menegangkan. Gaya penulisan Ziggy membuat saya dengan mudah mengikuti alur cerita dan terhanyut dalam setiap kejadian. Saya sangat mengapresiasi bagaimana Ziggy menyelipkan elemen-elemen kejutan yang membuat pembaca terus penasaran tentang bagaimana kisah ini akan berakhir.

Namun, meskipun saya sangat menikmati buku ini, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan. Ada bagian-bagian di mana hubungan antara tokoh dan kejadian terasa kurang jelas dan sedikit membingungkan. Beberapa interaksi dan latar belakang karakter terasa belum sepenuhnya terjelaskan, membuat saya harus berpikir keras untuk memahami kaitannya dengan plot utama.

Meski demikian, secara keseluruhan, saya sangat menikmati buku Teru Teru Bozu karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Akhir cerita yang penuh ketegangan sukses membuat saya merinding dan meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie sekali lagi membuktikan kemampuannya dalam menulis cerita yang tidak hanya menarik tetapi juga penuh misteri, membuat pembaca tidak sabar menunggu karya-karya berikutnya.

Expand filter menu Content Warnings
Perjamuan Khong Guan by Joko Pinurbo

Go to review page

challenging emotional funny lighthearted mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Buku Perjamuan Khong Guan merupakan karya kedua yang saya telusuri dari pena Joko Pinurbo. Sebagaimana buku Celana yang telah saya nikmati sebelumnya, buku ini juga mempersembahkan kumpulan puisi-puisi dari Joko Pinurbo. Dalam setiap bait puisinya, terdapat sentuhan yang mencerminkan keberagaman aspek kehidupan, dari yang berkaitan dengan agama hingga budaya, yang disajikan dengan penuh keahlian dan kedalaman pikiran sang penyair.

Keunikan buku ini terpatri dalam pembagian puisi-puisinya ke dalam empat bagian yang disebut ‘kaleng’, sebuah istilah yang membawa kita dalam perenungan mendalam akan makna yang terkandung di baliknya. Seolah menyuguhkan perjamuan bagi jiwa yang haus akan keindahan kata-kata, kaleng-kaleng tersebut menghidangkan puisi-puisi dengan ragam rasa dan aroma yang menggoda. Dalam setiap kaleng, kita diundang untuk menjelajahi ranah yang berbeda, tetapi tetap terkait dalam kesatuan yang harmonis, sebagaimana sebuah perjamuan yang menyatukan beragam cita rasa dalam satu meja.

Tidak dapat disangkal bahwa judul buku ini, Perjamuan Khong Guan, mengundang perenungan akan hubungan erat antara puisi dengan produk ikonik biskuit Khong Guan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Khong Guan adalah sebuah perusahaan yang menjelma menjadi raksasa dalam skala internasional, mengukir namanya dalam industri makanan, khususnya produk biskuit dan wafer. Tentu saja, yang paling legendaris adalah kehadiran biskuit Khong Guan dalam kemasan kaleng.

Kemasan kaleng ini tidak hanya menjadi wadah untuk menyimpan produk, tetapi juga menjadi wadah untuk mengumpulkan sejuta kenangan dan cerita di setiap sudutnya. Di sisi kaleng, terpampang dengan anggun potret keluarga yang sedang bersama di meja makan: seorang ibu dan dua anaknya. Gambar ini sungguh menarik perhatian, karena begitu mirip dengan sampul depan dari buku Perjamuan Khong Guan ini. Seolah menjadi jendela ke dalam isi buku, potret ini membawa kita pada perjalanan yang menggugah hati dan menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang terpendam dalam setiap kaleng biskuit Khong Guan.

Puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan memang menawarkan sejumlah kekhasan yang memikat hati pembaca. Khususnya, bagi saya, bagian “Kaleng Tiga” menjadi daya tarik tersendiri karena seluruhnya mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh bernama Minnah. Dari awal kehadiran Minnah di dunia, dengan segala haru bahagia dalam “Lahirnya Minnah”, hingga berbagai liku-liku yang dihadapinya dalam “Demam Minnah”, setiap bait puisi membawa kita pada sebuah perjalanan emosional yang mendalam.

Namun, dalam membandingkan puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan dengan karya sebelumnya seperti buku Celana, saya melihat sebuah perbedaan yang cukup mencolok. Puisi-puisi dalam Perjamuan Khong Guan cenderung lebih singkat dan padat, mempersembahkan makna dalam ruang yang lebih terbatas. Hal ini menjadi pertimbangan bagi saya, yang lebih menggemari puisi yang mengalir dalam panjang dan mendalam.

Namun demikian, saya sadar bahwa kecenderungan dalam menikmati puisi adalah hal yang sangat subjektif. Setiap pembaca memiliki selera dan keunikan masing-masing. Bagi beberapa orang, puisi yang singkat dan langsung pada intinya mungkin lebih memikat, sementara bagi yang lain, keindahan puisi terletak pada kemampuannya untuk mengalir dalam aliran yang panjang dan mendalam. Keberagaman dalam kesenian adalah sebuah keniscayaan, dan perbedaan pandangan hanya menambah kekayaan dalam dunia sastra yang penuh warna.

Tidak tersembunyi bahwa kesenangan melanda diri saya saat menjelajahi halaman-halaman buku Perjamuan Khong Guan yang tercipta dari pena Joko Pinurbo. Saya terpesona oleh kemampuan sang penyair dalam memilih kata-kata yang luar biasa kreatif, menghiasai setiap baris dengan keindahan yang memikat hati dan menyentuh jiwa.

Hal yang mengagumkan lainnya adalah variasi nada dalam puisi-puisi ini. Dari bait yang menghanyutkan dalam suasana serius, hingga sindiran yang menggoda senyum, bahkan hingga humor yang membuat hati riang. Sungguh, keberagaman ini menciptakan sebuah pertunjukan sastra yang memikat, mengajak pembaca untuk merasakan segala nuansa emosi yang terpancar dari setiap rangkaian kata. Bagi siapa pun yang ingin menggali keindahan dan kedalaman puisi karya Joko Pinurbo, buku Perjamuan Khong Guan adalah pilihan yang tepat.
The War that Saved My Life by Kimberly Brubaker Bradley

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Di jantung kota London yang sesak pada tahun 1939, terdapat seorang gadis kecil bernama Ada Maria Smith. Terperangkap dalam ruang sempit dan gelap, Ada hanya bisa merindukan dunia luar melalui jendela yang terbuka lebar, sementara adik lelakinya, Jamie, dengan bebasnya menari-nari di bawah sinar matahari dan menghirup udara segar yang terasa begitu jauh dari jangkauannya. Semua ini karena ibunya enggan memiliki anak seperti Ada, hanya karena kaki pekuknya. Perbedaan itu merenggut paksa kebebasannya.

Namun, kehidupannya terguncang oleh getaran perang saat pesawat Jerman mulai menjatuhkan bom yang mengancam keamanan mereka. Di tengah kekacauan perang yang melanda, Ada harus menemukan keberanian untuk melangkah ke dunia yang tidak pasti di luar sana. Tapi, sebelum dia bisa menghadapi ketidakpastian itu, ada satu rintangan mendasar yang harus dia taklukkan: belajar berjalan. Bisakah dia menggunakan kakinya untuk berjalan?

The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley membawa pembaca untuk menjelajahi perjalanan hidup seorang gadis kecil yang berani bernama Ada Maria Smith, di tengah-tengah gemuruh tahun 1939 saat awal Perang Dunia II. Dengan latar belakang genre sejarah fiksi, buku ini tidak sekadar cerita perang, tetapi menggali lebih jauh ke dalam perjuangan dan trauma yang dialami tokoh utamanya.

Ada, gadis kecil yang dilahirkan dengan keunikan fisik yang mencolok—kaki pekuk, terperangkap dalam dunia gelap dan penuh penyiksaan yang diciptakan oleh ibunya sendiri. Dipermalukan dan dihukum tanpa ampun, Ada tumbuh dalam lingkungan yang memupuskan segala harapan dan kepercayaan dirinya. Kehidupannya yang terbatas bahkan menghalangi kemampuannya untuk belajar berjalan, memaksa dirinya merangkak dan hanya bisa mengintip dunia luar melalui jendela.

Di tengah kekacauan perang yang semakin meluas, ketika pesawat Jerman mengguncang langit London dengan ancaman bom, takdir Ada semakin tidak pasti. Akankah ibunya memasukkan nama Ada dalam evakuasi bersama adiknya, Jamie, ataukah membiarkannya terperangkap dalam bahaya di rumah yang selama ini menjadi penjara batinnya?

Namun, sinar harapan mulai muncul ketika keinginan akan kebebasan tumbuh dalam diri Ada. Dengan keyakinan bahwa mungkin ibunya akan berubah ketika dia bisa berjalan, dia memulai perjalanan menuju keberanian dengan belajar berjalan.

Saya sangat terkesan dengan pengalaman membaca buku The War that Saved My Life. Setiap baris narasi mampu menangkap perhatian saya dengan kuat, membawa saya ke dalam aliran peristiwa yang menyentuh dan mendalam. Yang paling menarik adalah bagaimana perjalanan hidup Ada dan Jamie dimulai, dan pertemuan mereka dengan Susan memberikan sentuhan emosional yang luar biasa.

Kesedihan yang menyayat hati mewarnai kisah mereka, terutama saat mereka berhadapan dengan dunia luar yang begitu asing bagi mereka. Meskipun dihadapkan dengan kebaikan, ketakutan yang tumbuh akibat perlakuan buruk ibu mereka membuat mereka ragu menerima bantuan. Bagi Ada, perjuangan melawan trauma dan rasa terkekang menjadi medan pertempuran internal yang memilukan, dan saya merasakan betapa dalamnya perjuangan batin yang dia alami.

Meskipun ada saat-saat di mana saya merasa kesal dengan sikap Ada terhadap Susan, saya menyadari bahwa responsnya itu tidak terlepas dari luka batin dan trauma yang mendalam yang telah dialaminya. Namun, dalam hal ini, saya sangat menghargai keteguhan hati Susan yang tak pernah luntur, bahkan dihadapkan pada sikap dingin dan ketidakpercayaan dari Ada. Keberaniannya untuk tetap mendekati dan memberikan bantuan kepada mereka menunjukkan ketulusan dan kebaikan hati yang luar biasa.

Tidak hanya itu, saya juga ingin menyoroti kehebatan dalam penerjemahan karya ini ke dalam bahasa Indonesia oleh Maicel Andrea. Pemilihan kata-katanya sangat tepat dan mengena, sehingga mampu menyampaikan esensi dan nuansa cerita aslinya dengan baik. Kemampuan untuk mempertahankan keindahan dan kedalaman cerita asli merupakan pencapaian yang patut diacungi jempol.

Secara keseluruhan, pengalaman membaca buku ini sungguhlah luar biasa. Setiap halaman mampu menghadirkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bagi siapa pun yang mencari pengalaman membaca yang mendalam dan memikat secara emosional, The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley adalah pilihan yang patut untuk dipertimbangkan. Dengan alur cerita yang menarik dan karakter yang kuat, buku ini memberikan pelajaran tentang keberanian, kekuatan keluarga, dan arti sejati dari kebebasan.

Expand filter menu Content Warnings