renpuspita's reviews
1316 reviews

The Fellowship of the Ring: Sembilan Pembawa Cincin by J.R.R. Tolkien

Go to review page

adventurous lighthearted tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

 4 bintang

BUKU PERTAMA YANG GUE SELESAI BACA DI TAHUN 2024!!

Review mengandung beberapa spoiler karena ada perbandingan dengan versi filmnya XD. Silakan klik "view spoiler" jika berkenan ;3

Gue mungkin termasuk yang telat baca buku LOTR despite already watch the trilogy (extended version ofc) for many times. Waktu LOTR dulu pertama tayang, itu di akhir tahun 2001 dimana gue masih  kelas 3 SMP dan lebih milih nonton Harry Potter. Kek, ya gue sebagai anak SMP waktu itu emang ga banyak baca buku fantasy dan lebih milih Harpot yang secara umur ga jauh beda ma gue kan. Bahkan gue anggap LOTR waktu itu "wah apa nich mau nyaingin HP yah??".

How wrong I am, lel.

Gue akuin untuk Fellowship of the Ring ini baik buku maupun filmnya, sama - sama boring pada awalnya XD. Untuk film, Fellowship memang my least favorite from LOTR trilogy sedangkan untuk buku pendapat gue belum final karena gue belum baca Two Towers dan Return of the King. Gue sendiri nonton filmnya untuk versi extended baru di tahun 2010an, itu juga dapat bajakan (tahun segitu ya gaes, yang streaming resmi2 belum banyak. Gomennasai, wkwk). Nonton extended emang bikin gue jatuh cinta dan nyesel kenapa dulu pas LOTR pertama diputer gue ga nonton di bioskop ya? Meski setelahnya tahu ada bukunya, gue juga ga baca2 bukunya, sampai akhirnya kawan - kawan BBI menghadiahkan gue boxset terjemahan Lord of the Rings (plus The Hobbit) untuk hadiah pernikahan gue di 2013 (MAKASIH YA GAES. GUE TERHARU, HUHUHU).

Sayangnya, bahkan dengan usaha gue di 2013 untuk baca Fellowship itu gagal karena gue ngerasa "kok..bosen yah?". Tiap tahun gue bikin resolusi baca, pokoknya minimal harus selesai baca trilogy LOTR dan sekian tahun berlalu pun masih ga kesampaian. Lucunya lagi, gue tuh baca The Silmarillion DULUAN. Kacau ga tuh? Harusnya baca LOTR dulu, ini malah baca compendiumnya, wkwkwk. Akhirnya di penghujung 2023 lalu, gue bener - bener maksain diri buat baca Fellowship of the Ring dan sesuai dugaan gue.. iyah BOSEN BANGET. Gue sempat berhenti sampai 1,5 bulan sebelum lanjut baca di awal Januari 2024 and finally, I DID IT!

Panjang bener ini curhatan dan intermezzonya, reviewnya mana Ren?

SABAAR XD

Ga berlebihan rasanya kalau gue bilang awal - awal Fellowship itu sangat membosankan dan kering kerontang. Disini gue mengagumi Peter Jackson yang dengan segala upaya berusaha memampatkan kisah Frodo dkk di buku pertama menjadi film 3 jam dan tetap patuh sama bukunya meski ya BANYAK SEKALI penyesuaiannya karena kendala durasi film. Beberapa hal - hal yang beda antara film dan bukunya ada disini:

1. Pippin dan Merry nyolong kembang api di Pesta Bilbo itu cuma ada di film aja. Gue merasa karakterisasi Pippin dan Merry lebih kocak dan playful di film, karena di buku kayak biasa banget
2. Selang dari Pesta Bilbo sampai Frodo berangkat perjalanan itu kalau di buku sampai belasan tahun! Jadi waktu pesta ultah Bilbo, Frodo masih 30an dan saat berangkat dia udah mau 50an. Eniwei, untuk ukuran hobbit, umur 50an ini masih jelang dewasa ya. Karena umur mereka emang termasuk panjang.
3. Kalau di film, terasa banget kan buru - burunya Frodo sama Sam pergi dari Shire. Nah, di buku tuh Frodo aja masih sempat jual rumahnya! XD Seriusan, pace bukunya se-slow itu. Frodo bahkan masih sempat ketemu elf yang nantinya akan melindungi mereka dari kejaran ringwraith untuk sementara. Adegan yang menurut gue sayang dihilangkan di film karena adegan ini nunjukin kalau Frodo sangat paham bahasa Elf dan berteman baik dengan mereka.
4. Pippin dan Merry ga memergoki Frodo di ladang Farmer Maggot kayak di film tapi mereka ikut dengan sukarela dan udah siap banget. Frodo aja masih sempat minum teh di rumah Farmer Maggot. Meski udah kerasa mulai intense, vibe perjalanan Frodo dkk berasa kayak piknik aja. Bahkan naik ferry ke Bree aja dianterin, bukannya dikejar - kejar Ringwraith
5. Ada beberapa bab yang dipangkas sama Peter Jackson dan semua bab ini ada hubungannya dengan Tom Bombadil. Gue ga terlalu paham kenapa sampai 4 bab ga diceritain di film, mungkin dirasa ga ada tokoh Tom pun gapapa karena ternyata di animasi versinya Ralph Bakhsi pun si Tom ini juga ga ada. Padahal Tom Bombadil sendiri menarik karena dia dianggap entitas terpisah dari semua makhluk di Middle Earth. Sampe gue ngira mungkin Tom ini salah satu personifikasinya Eru Iluvatar, penciptanya Middle Earth. Bisa jadi tokoh Tom tidak ada supaya fokus cerita di film ga kepecah kemana - mana
6. Berbeda dengan film dimana pecahan pedang Narsil (pedangnya Isildur) ditaruh di Rivendell, di bukunya Aragorn malah bawa kemana - mana si Narsil ini. Bahkan pedangnya ditempa kembali dan dinamai Anduril itu ya sejak buku 1, bukannya kayak di film baru dikasih ke Aragorn pas malem sebelum perang lawan Sauron di Pelenor Fields. Karakter dan sifat Aragorn emang bedanya mayan antara film dan buku. Kalau di film, Aragorn itu terasa seperti karakter yang ragu untuk jadi Raja Gondor, sementara di buku udah pede aja meski kadang juga agak ragu (tapi ga separah di film). Walau aura suramnya masih tetep sama, tapi gue merasa Aragorn versi film (kyaa, Viggo Mortensen, kyaaa XD) itu agak lebih lembut ketimbang versi bukunya yang lebih kasar dan tegas
7. Yang membawa Frodo ke Rivendell naik kuda bernama Asfaloth tuh bukan Arwen, tapi Glorfindel!! Yup, ini salah satu bagian yang kalau gue baca2 di forum dan wiki banyak yang protes juga. Di buku, Frodo naik Asfaloth sendirian walau tetep didampingi Glorfindel di sampingnya.
8. Jangan berharap ada kisah romansa Arwen dan Aragorn yang melankoli di filmnya itu ada juga di bukunya, karena di buku cuma dibahas sekilas. Bahkan penampilan Arwen aja juga cuma 1-2 kalimat XD. Arwen di buku kebanyakan emang diceritakan dari sudut pandang orang lain, seperti Aragorn atau Galadriel. Plus kalung Evenstar yang dipakai Aragorn tuh ga dikasihkan sama Arwen kalau di bukunya, tapi oleh Galadriel. Gue merasa di film mungkin supaya berasa romantis, sementara kalau di buku lebih ke arah Galadriel memberikan restunya sama Aragorn selain jadi Raja Gondor juga jadi pendampingnya Arwen mengingat Galadriel tuh neneknya Arwen juga.
9. Adegan Dewan Penasihat Elrond jauh lebih intense di filmnya. Kalau di buku ya kayak rapat biasa aja plus banyak trivia tentang sejarah Middle Earth yang bakal jelas kalau abis selese trilogynya, lanjut the Silmarillion. Jadi di buku ga ada tuh adegan "One doesn't simply walk to Mordor" atau "You have my sword/bow/axe", hehehe. Bahkan walau Dwarf dan Elf emang ga akur, tapi ga kelihatan rasa permusuhan antara Gimli dan Legolas, ga kayak di film yang kelihatan banget.
10. Dari cerita Gandalf pas dia ditawan Saruman, ternyata Gandalf masih sempat ke Rohan dan bahkan dikasih kuda yang dinamain Shadowfax. Di film Fellowship emang ga ada dan kalau dah nonton Two Tower langsung dibilang kalau Shadowfax itu Mearas, salah satu kuda sihir. Aslinya kalau di buku ya, emang Mearas sih, tapi kudanya ternyata dikasih sama Theoden bukan tahu - tahu ada XD
11. Kalau di film habis adegan Dewan Elrond, Frodo bersama Sam, Pippin, Merry terus Gandalf, Aragorn, Gimli, Legolas dan Boromir ditahbiskan sama Elrond jadi Fellowship of the Ring dan langsung buru - buru pergi jalan ke Mount Doom; nah di buku tidak begitu ya bestie. Frodo masih sempat bermukim di Rivendell sampai dua bulan sambil nungguin Aragorn balik dari perjalanan bareng kakaknya Arwen (Elohir & Elladan) buat mata - matain pergerakan musuh. Santai banget ga sih? XD
12. Adegan - adegan selanjutnya lewat Caradhras, tambang Moria,  Gandalf gugur ngelawan Balrog dan akhirnya rombongan pergi ke Lothlorien itu hampir sama antara buku dan film meski dengan beberapa penyesuaian. Ada beda yang cukup menarik karena di buku Frodo ga sendirian pas melihat ke cerminnya Galadriel karena ada Sam juga. Tapi ini cuma perubahan kecil aja dan ga terlalu ngefek juga ke cerita secara keseluruhan. Karena toh adegan Galadriel yang nolak godaan Cincin itu masih ada dan bahkan jauh lebih bagus diadaptasi di filmnya.
13. Ending film dan buku BEDA BANGET SEBEDA - BEDANYAAAA. Kalau di film kan diakhiri dengan kematian Boromir, nah di buku tuh Boromir tuh masih hidup. Bahkan ga ada istilah Uruk-hai di buku ini. Gue curiga kematian Boromir dan kemunculan Uruk hai tuh aslinya ada di buku Two Towers tapi biar filmnya berakhir dengan lebih dramatis lagi maka adegan kematian Boromir ini dicepetin.


Panjang ya spoiler buat bandingin film dan bukunya, and maybe I will repeat it again for Two Towers and Return of the King XD. Gue merasa baik film maupun buku punya daya tariknya masing - masing. Terlepas dengan begitu banyaknya perbedaan antara buku dan film, gue bersyukur buat nonton filmnya dulu baru baca bukunya sehingga ngedumelnya ga separah waktu dulu baca The Hobbit terus nonton filmnya (Huh, Tauriel? Siapa tuh Tauriel??). Meski boring dan kering pada awalnya, pace ceritanya mulai seru setelah Frodo sampai di Rivendell dan mulai perjalanan untuk menghancurkan cincin. Jadi setengah bagian pertama buku emang bikin ngantuk sampai gue aja berhenti baca 1,5 bulan, tapi bagian keduanya seru sampai gue baca tiap hari (sambil update reading thread juga sih). Prof Tolkien emang kalau nulis deskripsinya astaga panjang bener dan mampir kesana - kemari, tapi gue dapatin gue juga sebenarnya menikmati baca karena banyak hal - hal di buku yang ga ada di film. Prof Tolkien juga banyak memasukkan unsur puisi dan lagu - lagu, yang membuat aura magis LOTR semakin kental dan kaya. Karena layaknya fantasy jaman dulu, tradisi penceritaan masih banyak dari mulut ke mulut. Untuk terjemahannya bagus dan minimal mudah diikuti. Bahkan gue kagum sama terjemahan puisi dan lagunya yang bisa banget berima, walau gue juga penasaran sama versi aslinya kayak gimana. Yang gue perhatikan untuk dialog emang banyak tanda seru dan kata "Aduh! Ternyata bla bla bla", yang malah jadi lucu waktu dibaca, apa mungkin kecenderungan orang jaman dulu yang dramatis XD.

Salah satu buku fantasy yang menurut gue masuk dalam daftar buku yang minimal dibaca sekali dalam seumur hidup, apalagi kalau kamu ngakunya fans genre fantasy :D. Mana yang lebih baik, apakah nonton filmnya dulu atau baca bukunya? Kalau gue, emang mending nonton filmnya dulu baru baca bukunya, karena bedanya cukup jauh. Plus, perlakukan keduanya sebagai media yang berbeda, karena filmnya bagus (and majestic af!) tapi bukunya juga bagus dan kalau kamu penyuka buku yg world buildingnya detail plus deskriptif, you will enjoy the book more. Tentunya agak sabar pas baca bagian pertamanya yang emang agak bosenin itu, karena setelahnya ceritanya baru mulai menarik!

Expand filter menu Content Warnings
Two Wrongs Make a Right by Chloe Liese

Go to review page

emotional lighthearted slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.25

 My 100th book read in 2023!!!

Quite accomplishment compared to later years when I'm in reading slump, so this is a good news to me, lel. I'm glad I choose this title since I already intrigued when reading the blurb and people reviews despite never reading or watching Much Ado About Nothing. Beatrice (aka Bea) and James (aka Jamie) might be start in rocky steps because Bea's twin (Jules) and her colleagues try to matchmaking Bea and Jamie to be together. Then, they start to fake dating for revenge to those meddlers but when they start to getting know each other better than their first impression aka their meet-disaster, they realize the fake dating suddenly become real. Honestly, a pretty much standard trope, enemies (or frenemies?) to lovers plus fake dating, but Liese execute it very well.

The romance is swoony and full of moments or dialogue that make me go "awwww". I mean despite being uptight, stern and deal with anxiety, Jamie is the greenest flag heroes ever walk, a beta male to the core. He understand Bea's autism spectrum and even his first impression of Bea is not that good, when Bea tell him that she is a neurodivergent, Jamie always prioritize Bea first. I mean, make a veggie puree since Jamie know Bea have difficulty to eat veggie because its texture and constantly ask her condition in the new and strange place? If that's not a green flag, then I don't know what it is. Not only Jamie to Bea, but Bea herself also understanding Jamie's anxiety, slowly heal him from his uncertainty. I did like their dynamics, even though their act seems childish as first with all that fake dating as a revenge plot, but since both are unique individuals, I don't mind at all. Since the book is written in 1st PoV, I liked that Liese successfully write both characters PoV, make them feel and sound different. I also like that Liese incorporated her views about romance genres as well without feel too-in-your-face. Yep, romance need a happy ending, and if there's no happy ending, it's a love story, not romance per se :P.

The sex scenes are steamy, although its happen near the end, lel. This book really take a very long slooooow burn to the next level. The sexual tensions is ofc plenty and since we get to read both Bea and Jamie's first PoV, reader got insight into their inner thought and sexual frustration plus longing as well. So, with the way of their slow burn written, all of them are paid off not only one but two VERY WELL written sex scenes (lube using, edging, Jamie act and talk all French-y to give Bea plenty of petite mort, wew!) and left me a happy reader in the end, lel. From the sexuality aspect, the characters are pretty diverse since Bea is a pan, Jules is a bi and their friend also varied in sexuality as well. 

However, I did have complaint. Not only the sex happen near the end (still good, tbh), the main conflict also feel rushed and got solved quickly. In the positive side, I'm glad that the drama that ensues didn't prolong that much, but I also hate that it happen in just 1-2 chapters. The conflict that is
third act breakup, a staple in this genre, is weirdly executed. I feel like we didn't need that breakup and the reason is because of Jules and her toxic fiance, Jean-Claude in which Jean-Claude also Jamie's close acquaintance. So Bea decide to break (for a moment) because she afraid that if Jules see Jamie, Jules will be triggered. While I appreciate Bea's consideration for Jules's feeling since Bea herself knew how it feels to be in toxic relationship with her ex, I feel like Bea try to jump in conclusion too fast and in the end kinda hurt Jamie feeling since Jamie himself also just healed from toxic relationship in which he always feel he didn't enough for his ex. Yep, it's pretty much complicated and a jumbling mess, lol. And its resolved in only one chapter and they finally got their happy ending (with a one last hot sex scene). The end
. The way the meddlers try to shove Bea and Jamie at first in maybe can be too annoying to read, since we read them from Bea's PoV. I did mention that Bea and Jamie's first impression is kind of meet-disaster, and maybe can be seen as childish despite they already in their 30-ish but eh, I'm 35+++ myself and still act childish, lol.

Complaint asides, I pretty much enjoy reading Two Wrongs Make A Right and this is also my first time reading about neurodivergent characters. I feel that I can connect to them and understand why Bea act like that and how Liese also handle Jamie's anxiety as well. The angst itself is still bearable although I wish Liese write the conflicts differently. All in all, a pretty good read to close my 2023! I recommend this book even you already read/watch Much Ado About Nothing or not yet, and also love frenemies to lover trope and fake dating as well.

PS: Another littleeee complaint for the cover. Bea constantly describe Jamie as being tall and Jamie himself confirm that he's 6 ft 4" tall. I got the impression that Bea is maybe shorter by 20-30 cm. But the cover didn't show that XD. Still a pretty good cover, though! 

Expand filter menu Content Warnings
Dream Lake - Danau Kenangan by Lisa Kleypas

Go to review page

emotional hopeful lighthearted mysterious slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

Dibandingkan sama buku kedua, Rainshadow Road, Dream Lake ini menurut gue ada sedikit penurunan kualitas terutama dari segi hubungan antara dua karakter utamanya. Mungkin karena itu juga gue baca Dream Lake ga sat set sat set kayak baca Rainshadow Road. Selain lagi hectic banget, gue juga kurang merasakan romansanya Alex sama Zoe. Benernya kisah romansa mereka itu trope yang grumpy bf x sunshine gf. Plek ketiplek tanpa ada modifikasi. Alex ga cuma sekedar grumpy, tapi bitter to the core gegara pernikahannya yang gagal sama mantan istrinya, Darcy. Selain itu Alex juga alkoholik, tiap ada masalah pokoknya minum-minum biar masalahnya selesai. Gue juga ga ngerti walau udah cere, Alex masih tetep having sex sama Darcy, simply karena butuh pelepasan. Bahkan alasan mereka menikah sejak awal pun gue ga ngerti. I mean, kalau cuma butuh HS doang buat pelampiasan nafsu, mending ga usah nikah aja. Tapi ya, jadi ga ada konfliknya ya hahahaha. Karena perceraian Alex sama Darcy inilah yang bikin Alex nanti bakal terhubung ke Zoe.

Zoe sendiri ya typical sunshine girl yang walau perceraiannya menyakitkan (mantan suaminya ternyata gay yang denial) dan ayah kandungnya ga sayang, tapi Zoe ini masih ceria dan percaya sama cinta. Sejujurnya Zoe ini ya tipikal salah satu cewe yang yakin bisa "menyembuhkan" tokoh cowonya yang bitter, dalam hal ini Alex, untuk jadi lebih baik. Kalau kamu suka trope2 model ginian, ya bakal suka. Gue sendiri ga terlalu, kayak yang ini corny abis ga sih trope cewe bisa menyembuhkan luka batin cowo hanya karena cinta wkwk. Walau gitu penulisan tante Lisa mah tetep juara. Zoe pun diceritakan piawai dalam memasak jadi banyak deskripsi masakan di buku ini yang minimal bikin kamu ngiler.

Yang membuat Dream Lake menarik menurut gue bukan perkembangan karakter Alex menjadi lebih baik atau kisah cintanya sama Zoe, tapi identitas si hantu yang nempel ke Alex. Meneruskan subgenre magical realism di buku 2 (Rainshadow Road), tante Lisa menambahkan unsur supranatural dimana seorang (?) hantu menghantui Alex pas Alex lagi benerin rumah Sam di Rainshadow Road. Bagi gue, teka teki identitas si hantu sebenarnya lah yang bikin buku ini asyik buat dibaca. Kita diajak menebak - nebak siapa sih hantu dan kenapa dia ga bisa pergi ke alam baka karena ada sesuatu yang menahan di bumi. Pas akhirnya tahu, kita juga merasa trenyuh, karena kisah cinta si hantu emang dasarnya tragedi. Tapi karena ini romansa ya, selain Alex sama Zoe dapat happy endnya, si hantu akhirnya juga bisa bersatu dengan love of his past life. Selain hantu, tante Lisa juga memasukkan unsur magical di masakan Zoe. Dimana siapapun yang makan masakan dia, bakal merasakan sesuatu yang lebih atau membahagiakan. Nyari orang kayak Zoe ini dimana ya, karena gue kan hobi makan XD.

Tidak ada antagonis di buku ini, ga kayak adik sama mantan Lucy yang dajjal di buku 2. Kalaupun ada, bisa dibilang, antagonisnya ada dua. Alex sendiri dan ayahnya Zoe yang meninggalkan Zoe tanpa alasan yang bahkan sampai akhir pun ga bener2 jelas (alasannya karena Zoe mirip sama ibunya yang dulu meninggalkan ayahnya pas Zoe kecil. Tapi ini juga ga ada penyelesaiannya). Gue agak kesel juga sama Alex yang mati2an menyangkal perasaan tapi nafsu juga sama Zoe. Ah elah, wkwkw. Gue sepertinya lebih cocok sama kisah romansa Sam dan Lucy yang walau awalnya friend with (sex) benefit tapi slow burn mereka tuh dapat banget. Gue cuma mendapat kesan kalau Zoe itu cinta Alex karena pria itu terluka batinnya, jadi dia pengen nyembuhkan lukanya Alex. Kalau misal Alex itu minimal kayak Sam, meski terluka tapi ga yang bitter, gue ga yakin juga Alex sama Zoe bakal jadian. 

Eniwei, terjemahannya tetep enak dibaca. Steamy factornya juga wadidaw wadaw dan gue cukup apreasiasi karena terjemahannya di bagian adegan olahraga tempat tidur itu bagus. Si Alex ini suka dirty talk ke Zoe, tapi gue udah agak euh tahu dia masih HS sama mantan istrinya meski udah cere, walau ya setelah ketemu Zoe; Alex udah ga mau lagi. Kalau kamu tipe yang suka banyak adegan smutnya, mungkin agak kecewa karena mereka baru begitu pas mau akhir2 cerita. Tapi gue sih kagak keberatan ya, hehehe. Seleranya udah beda dan gue lebih appreciate slow burn, meski slow burnnya Alex sama Zoe ini agak kurang kalau dibandingkan sama Sam dan Lucy. Sisterhood antara Justine sama Zoe menurut gue lumayan, apalagi ada hints kalau Justine ini kemungkinan keturunan penyihir. Jadi di bukunya si Justine, bisa jadi ada unsur2 sihirnya walau tentu saja ga banyak.

Tetap menarik buat dibaca dengan segala dinamika keluarga dan menunjukkan kalau kekuatan cinta bisa menyembuhkan hati yang terluka serta membuat makhluk gaib (si hantu) menemukan kembali cinta masa lalunya. Dream Lake emang ga sebagus Rainshadow Road, tapi gue tetep rekomendasi kalau kamu suka kisah cinta di kota kecil dengan trope grumpy x sunshine.

PS: Gue ga paham lagi lah sama covernya, karena ini kan bukan hisrom XD. Entah kenapa modelnya pakai gaun ala2 mau pesta, meski penggambarannya sih sama karena Zoe juga rambutnya pirang. 

Expand filter menu Content Warnings
Onibi: Diary of a Yokai Ghost Hunter by Atelier Sentô, Cécile Brun, Olivier Pichard

Go to review page

lighthearted mysterious slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? No

3.0

 Onibi is a nice blend of travelogue and the mystery of the Japanese ghosts known as youkai. Written and draw by Atelier Sento, a creative team duo of Cecile Brun and Olivier Pichard, Onibi described their trip to Niigata. I think the trip itself was happen but they decide to mix it with youkai hunting, adding some mystic feeling on it. For me, the illustration is pretty nice but the story seems to lacking. It feel jumbled since the story told in some kind of anthology or short stories. However, you will wondering if Brun and Pichard really encounter youkai in their Niigata trip or they just imagine them at all. For a graphic novel with yokai ghost hunter in the title, sadly the type of yokai is not that plenty.

Still a pretty good graphic novel that combine a travelogue with a horror theme that suitable for people that easily scared by ghosts (aka, me, lel) and also perfect for a short and quick read. I just wish the story told more comprehensively and feature more yokai. 

Expand filter menu Content Warnings
Quiet in Her Bones by Nalini Singh

Go to review page

dark mysterious tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

 Quiet in Her Bones is the first time I read book by Nalini Singh that written from 1st PoV and male MC at that. Definitely out of her usual books since I'm a fans of her Guild Hunter series, follow Psy-Changeling series (need to do a complete reread since I stop in Kaleb's book) and try to read her Rockstar series but found it is not to my liking. Quiet in Her Bones also her first thriller book that I try to read. 

Honestly, from the vibes and story tones alone, Quiet is pretty much like Guild Hunter. Dysfunctional family and gritty environment that surrounded by a mystery. In contrast, if Guild Hunter is filled with fantasy settings, Quiet happen in your usual urban area with rich people that hide their scandals and malicious intents. Our narrator, Aarav Rai is an example of unreliable story teller, a self diagnosed sociopath that slowly succumb to uncertainty and become unhinged days by days while try to solve the mystery behind his mother's disappearance. Who's the killer of Nina Rai? Is it her husband, Ishaan Rai, a respectable CEO that she had toxic relationship with? One of their rich neighbor? A secretary that Ishaan banged at that time when Nina disappear and want to get Nina out from the house to become the next Mrs Rai? A close friend of Nina that decide to betray her? Or maybe, Aarav himself? Aarav, a devoted son with love and hate relationship for a mother that so clear live to her own way but become bitter through her marriage. Aarav, a multi-sensational thriller writer with a book that turned into movie, a book about a mother killed. Aarav, a man that found his brain slowly succumb to madness unknown, unhinged, filled with rage and uncertainty of his memories when his mother flee from their home 10 years ago because his brain decided to mess with him.

The start of this book is pretty slow and the introduction of Aarav neighbor in the rich community, the Cul-de-Sac, can be pretty confusing. I feel difficult to memorize who is who, since Aarav know them all and begin to suspect is one of them a culprit responsible for his mother's death. The ensemble cast remind me of Agatha Christie's mysteries that also have big cast in which if you don't focused enough, you will get lost. The things is, I can't help to compare Quiet's big casts to another Nalini's series. I can remember all of the member of Cadre of Ten and their territories, maybe because I'm curious about them and want to know more. But, in case of Aarav's neighbor, doctors or his ex-gf, I just got lost. I don't feel these want to connect with them. Maybe, this is deliberate, since I can feel Aarav's aloofness and his unhinged characterization so I don't feel this closeness to other characters. Sometimes I feel like the characters introduction in the start of the book will help me to memorize the characters. 

The mystery while solid, its conclusion in the end feel pretty easy although still enjoyable to read. I appreciate Nalini Singh to throw some red herring in order to make the mystery not that easy to predict. All Aarav's neighbors hide their scandals closed to themselves, only to be peeled layer by layer later, following the story. Aarav himself is not that likable but I can understand him. I mean, he's not that bad and I still enjoy his voice. Some of the revelation regarding about his relationship with his mother, his father, and his ex-GF is pretty shocking and I think it's work because of the 1st PoV and the fact that Aarav can't be trusted that much. There's a tongue-in-cheek part about Aarav burn bad review about his book, rather than he confront the reviewer itself. I just chuckling and wondering if Nalini also do it herself? While the story feel unsettling and chilling, I like that Nalini still try to write Aarav as a big brother figure to his step-sister, Pari and also have a good relationship with his step-mother, Shanti. If you search for romance, I'm afraid, there's none.

Quiet in Her Bones is Nalini's first thriller (and there's no romance too!) that I had read and I will check out her other thriller as well. Although, this book have so many trigger warning (like toxic relationship and domestic abuses), so you might want to read this one with cautions. 

Expand filter menu Content Warnings
Missing Ex by Merinda Lounita

Go to review page

emotional mysterious tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

 Ternyata...BAGUS JUGA WOY!

Oke, ini mungkin lebay ya, tapi sebagai pembaca yang JARANG banget baca novel lokal terutama yang target pembacanya anak kuliahan atau young adult plus dengan genre thriller dan misteri, Missing Ex ini sukses bikin gue ga bisa berhenti baca (dan bahkan baca di kantor. Yang ini tolong jangan ditiru ya gaes, ihik). Dari blurbnya sendiri udah cukup jelas, Zach dicurigai atas kehilangan Netta karena cowok itu yang terlihat terakhir kali bersama Netta. Wajar juga polisi curiga, karena Zach abis putus dengan Netta. Sebuah surat misterius berisi puisi mengantarkan Zach dan juga sahabatnya, Lea untuk menelusuri tempat - tempat yang pernah didatangin Zach dan Netta untuk kencan yang berujung dengan kebenaran dibalik hilangnya Netta. 

Buku ini emang singkat, padat dan cukup jelas. Penulisan Merinda cukup rapi dan enak dibaca, tidak ada dialog kaku super kering bak kanebo yang sempat gue temuin di beberapa novel lokal yang pernah gue baca. Karakternya emang sedikit, tapi karena itu juga jadi cukup fokus ceritanya. Fokus cerita memang lebih ke Zach dan betapa merananya Zach pas tahu dia udah menyia-nyiakan Netta selama ini. Zach bener - bener taking things for the granted! Sejujurnya saat baca tentang Zach yang tidak mengacuhkan Netta gegara kesibukan dia sebagai ketua himpunan sedikit banyak ngingetin gue sama suami dulu waktu kami masih pacaran. Yup, tiap kali gue minta waktu buat kencan, suami (pas itu masih pacar) selalu nolak karena dia sibuk skripsi dan gue waktu itu sedih plus kesal :'). Di buku ini si Netta bener - bener sabar menghadapi kelakuan Zach, sampai reaksigue sama kayak reaksi Lea pas tahu Zach suka lupa sama janji kencannya dengan Netta, pengen nampol Zach SEKERAS-KERASNYA! Tapi, mengingat Zach udah sangat menderita akibat perlakuannya kepada Netta yang berujung penyesalan tak terperi, mau ga mau gue jadi kasian juga. Pada bagian ini, gue acungin jempol sama Merinda untuk penulisannya tentang Zach yang bikin hati terasa campur aduk.

Missing Ex diawali dengan pendahuluan yang mencekam dan bikin gue juga cukup was - was apa Zach bakal menemukan Netta pada akhirnya. Trigger warning, ada adegan pembunuhan yang diceritakan dengan cukup detail, sadis dan bikin ngilu, dan juga adegan penyiksaan binatang meski tidak terlalu eksplisit. Eniwei, meski gue bilang ini bukunya page turner, jumlah halaman yang ga sampe 300 hal (hanya 232 hal) juga jadi salah satu kelemahannya, hence why I don't give this fully 5 stars. Ada beberapa hal yang kurang dijelaskan, termasuk juga latar belakang pelaku yang baru dijabarkan saat akhir. Mungkin kalau jumlah halamannya dibanyakin, beberapa pertanyaan gue bakal terjawab. Di luar itu, aspek - aspek lainnya cukup oke. Karakterisasi tokoh selain Zach dan Lea, seperti Aldi dan Kely, yang ternyata juga berhubungan dengan kebenaran dibalik hilangnya Netta, cukup dieksplor dengan baik. Walau alurnya maju mundur, adanya keterangan waktu membuat gue paham kejadian ini terjadinya pas kapan. Dan, jadi point plus juga, karena keterangan "xx jam setelah Netta menghilang" itu beneran bikin was2. Pembaca bahkan dikasihtahu cerita dari sudut pandang Netta juga, jadi kita pun tahu bagaimana perasaan Netta selama ini ke Zach dan juga apa yang sebenarnya terjadi pada malam saat Netta menghilang.

Satu dari beberapa YA thriller lokal yang gue rekomendasikan kalau nyari bacaan yang bisa selesai dalam sekali duduk dan page turner banget sampai ga bisa berhenti bacanya! 

Expand filter menu Content Warnings
The Ex Hex by Erin Sterling

Go to review page

funny lighthearted relaxing medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? No

4.0

 Witchy, cozy, slightly steamy, exactly what I expect from paranormal romance book. The Ex Hex is about Vivienne Jones, or Vivi, and her-ex, Rhys Penhallow and the curse (or hex) that going awry. The curse itself stems from Vivi's heartbreak when she was 19 and Rhys left her. At first, it's just for shit and giggles but suddenly become a big catastrophe (or near world ending, whichever you prefer) when the curse become real. The cat start talking, the ghost suddenly appearing, the spell going awry and Vivi found that Graves Glen history might be not what it seems to be.

The Ex-Hex have some of my favorite catnip, the one that got away and second chance. The main characters are pretty much charming, with Vivi try to deny her attraction to Rhys (not gonna work, we all know it) and Rhys that still can't get over Vivi even after 9 years. I did enjoy their banter, although the star of this book happen to be the side characters, Vivi's cousin Gwynnevere. Gwynn's dialogue always crack me up and I liked that she always supportive to Vivi together with her mother, Elaine. Sisterhood or witch coven for the win! The Penhallows brothers seems interesting too, with the oldest Wells is grumpy all the time and the middle brother, Bowen is eccentric as hell. Rhys seems like the charming ones here. 

The story is pretty much light and entertaining, perfect for a light and one-sitting read. The romance is pretty well written and I liked that it's low of angst. Both Vivi and Rhys were adult although sometimes they act too horny, but hey, that what 9 years separation did to you. But, I liked with what Sterling write for them, no drama, no big misunderstanding that need groveling scene (that somehow the way its written is mostly meh and not enough), the love declaration is pretty on point and the conclusion for how Vivi and Rhys manage their relationship despite their big difference (Vivi is already rooted in Graves Glen, Rhys is as free as they come) was satisfying. The sex scenes were steamy and sometimes have its humorous moment as well without too much cringe (at least, for my taste.)

I recommend The Ex-Hex if you want to read a witchy but cozy paranormal romance book and the Halloween setting is pretty much fit. The next book is about Gwynn with one of Penhallow brother, Llewellyn or Wells. In this book Gwynn's ex is a woman so, maybe she's a bi? Anyway, Gwynn is my favorite characters with her witty and sarcastic remarks and pretty much sunshine, while Wells's personality is rivaling the Grinch itself, so...yeah, The Kissing Curse is pretty much grumpy x sunshine, lel. 

Expand filter menu Content Warnings
Pembalasan Dendam White Window (The White Widow's Revenge) by Jacob Grey

Go to review page

adventurous dark tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.0

 Setelah mengenal kemampuan pengendali gagak dan mengalahkan musuh yang membunuh orang tuanya dan dilanjutkan bertarung dengan Feral buas pengendali lalat yang sempat menguasai kepolisian, petualangan Caw pun berakhir di buku ketiganya, The White Widow's Revenge. Sayangnya, meski dibilang ini buku pamungkas, ada beberapa hal yang bikin gue merasa ga terlalu puas sama seperti saat baca buku 1 dan 2.

Di buku ketiganya, Caw kembali melawan Feral laba-laba. Masalahnya, Spinning Man sudah tiada di buku pertama, jadi sekarang siapa yang dilawan Caw? Seakan masalah juga datang bertubi - tubi, Selina hilang dari rumah sakit dan napi - napi yang menjadi Feral gegara tindakan Bunda Lalat di buku 2 sekarang mulai berbuat onar. Caw dan para Feral baik yang mendapat bantuan Feral baru, yaitu Feral Coyote bernama Johnny Fivetails tentu saja berusaha menggagalkan tindak kejahatan mereka. Seakan ingin mengekskalasi konflik, dibuatlah para Feral ini jadi ragu - ragu sama Caw, mengingat Caw memegang dua relik penting yang membuat Feral gagak disegani. Pada akhirnya, Caw harus kembali menghadapi musuh lamanya yang entah gimana bisa balik lagi dan jadi tahu kenyataan yang disembunyikan sama pendahulunya dulu.

Alurnya sendiri tetap cepat dan konfliknya pun sebenarnya termasuk yang ringan tapi bisa banget memainkan emosi. Yang bikin gue kesel adalah selain Caw ini gampang percaya sama orang, gampang juga kena tipunya. Like, di setiap buku si Caw ini kena tipu mulu astaga. Untuk ukuran anak jalanan, Caw ini suka menurunkan kewaspadaan ya :'). Walau gue suka sama kegigihan Caw buat menyelamatkan Selina padahal Selina itu dulunya ada di pihak musuh, tetep aja agak gemes baca sikap Caw yang kadang juga taking things for the granted, terutama sama hubungannya dengan para gagak. Ini juga yang bikin gue ngurangin rating
karena  gue ga terima salah satu gagak jadi harus berkorban, huhuhu .


Masih sama kayak pendahulunya, di series Ferals ini tokoh anak - anaknya hanya sedikit, cuma Caw, Lydia, Selina dan juga Pip, bocah Feral tikus. Sisanya ya banyakan orang dewasa yang dulunya juga veteran Musim Panas Kelam. Jadi, menurut rada kurang seimbang juga apalagi musuhnya pun orang-orang dewasa . Jadi kayak gampang kalah ya ini orang dewasanya, hahaha. Pun perang terakhirnya juga kayak yang gampang banget selesainya kalau dibandingkan sama buku satu dan dua. Meski begitu, gue cukup apresiasi sama cara Jacob Grey buat mengakhiri kisah Caw di buku tiga. Semua konfliknya udah selesai, rahasia Feral Gagak juga sudah terungkap termasuk rahasia di balik Batu Tengah Malam. Meski gue kadang juga kesel sama tindakan - tindakan beberapa tokoh kayak Felix Quaker yang main rahasia dan baru ngomong pas akhir-akhir. Kayak, seandainya Quaker jujur dari awal, ya ga bakalan Caw babak belur kesana kemari kan, lel.

Sebagai satu kesatuan series, gue tetep merekomendasikan series Feral ini kalau kamu nyari fantasy untuk middle grade atau YA dengan tone yang cukup gelap, suram dan seakan ga ada harapan. Pun tiap bukunya juga tipis dan alurnya cepat jadi cukup seru juga buat dibaca, selain juga bakal bikin greget sama Caw yang kadang - kadang bingung kadang gegabah hehehe. Ceritanya yang cuma tiga buku pun pas buat binge reading, tanpa harus dipanjang2kan kayak serial fantasy middle grade lain yang ...ya YTTA lah ya :))). 

Expand filter menu Content Warnings
Ferals #2: The Swarm Descends (Serangan Kerumunan) by Jacob Grey

Go to review page

challenging mysterious tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? No

3.5

Mumpung buku kedua dan ketiga seri Ferals juga sudah diterjemahkan dan tersedia di Gramedia Digital, maka abis baca buku pertamanya ya gue otomatis lanjut aja dengan buku kedua. Cerita masih tetap berfokus pada Caw, seorang Feral atau pengendali binatang. Bukan sembarang binatang, karena Caw adalah Feral gagak. Jadi semua gagak di kota Blackstone ada di bawah kendali Caw. Sama kayak buku pertama, dari semua feral seakan feral gagak ini yang paling penting dan diincer sama musuh. Di buku pertama, Caw berhadapan dengan musuh bebuyutannya yang juga membunuh orang tuanya, Spinning Man. Nah, walau Spinning Man sudah berhasil dikalahkan di buku 1, ga lantas kedamaian datang. Kota Blackstone masih tetep kumuh dan kali ini Caw lagi - lagi diincar sama Feral bernama Bunda Lalat (yang mengendalikan...yak, you right, lalat) yang jauh lebih bengis ketimbang Spinning Man. Tapi bukan Caw namanya kalau harus menyerah dengan keadaan.

Di buku keduanya ini, Jacob Grey menambahkan beberapa tokoh. Salah satunya Selina, cewe yang ditemui Caw pas Caw lagi nostalgia di rumah lamanya. Lha, terus Lydia kemana? Tenang Lydia tetap ada dan tenang juga, ga ada namanya cinta segitiga soalnya fokusnya bukan di kisah romansanya Caw. Jadi mereka semua temenan. Dari para feral sendiri, mulai dikenalkan feral yang baik tapi yang jahat juga ada. Malah gue mikirnya ini agak ga seimbang ya antara kekuatan feral baik sama feral jahat. Padahal feral baik jumlahnya lebih banyak tapi feral jahatnya bisa menang di awal - awal. Mungkin authornya penganut paham jagoan menangnya di akhir :))). Selain tokoh manusia, tentunya ada tambahan gagak baru lagi di trio kawanan gagak yang setia menemani Caw. Si gagak baru bernama Shimmer, seekor gagak betina yang kayaknya sih ditaksir sama Screech. Lha terus Milky kemana? Kalau mau tahu nasib Milky ya kudu baca buku pertama hehehe. Sayangnya, bagi gue interaksi Caw sama gagak - gagaknya kurang banyak disini padahal gue kangen pengen baca Screech dan Glum saling beradu pantun (alias berantem). Untuk karakter Feral, lebih banyak karakter dewasa dimana yang masih muda cuma Caw dan juga Pip. Jadi agak ga balance juga nih benernya.

Kalau dari segi cerita, tentunya tetap seru dan alurnya cepat. Nyebelin ala anak remajanya juga ada, tapi sekali lagi masih bisa dimaklumi soalnya Caw sendiri juga selain pengalaman sama manusia kurang, dia juga masih belajar baca. Tapi Caw sendiri perkembangan karakternya lumayan dan dia ga mudah menyerah. Mungkin bagi gue yang agak bikin jijik karena deskripsi serangga di buku ini. Kalau di buku pertama ada kecoak sama lipan, di buku ini ya...lalat, wkwkw. Sama satu lagi yaitu cacing. Meski begitu gue masih tetep menikmati pas bacanya kok, mungkin berusaha biar ga terlalu dibayangkan juga. Authornya sendiri mungkin juga ingin balance interaksi Caw, jadi hampir semua dikasih panggung, walau fokusnya emang tetep di Caw dengan Selina dan Lydia. Sementara untuk orang dewasa antara Caw dengan Crumb yang jadi mentornya dan juga Velma. 

Seri Ferals sendiri berakhir di buku ketiga dimana di buku kedua ini ada beberapa misteri yang cukup bikin penasaran. Kayak kenapa kesannya feral gagak sangat penting padahal banyak feral binatang lain yang mungkin lebih kuat atau cerdas. Apalagi karena di buku ini banyak rahasia yang disembunyikan sama ibunya Caw, jadi kayaknya di buku ketiga bakal banyak yang dibahas. 

Series yang recommended buat yang mau nyari urban fantasy untuk middle grade atau YA dengan tone cerita yang kelam dan suram. 



Expand filter menu Content Warnings
Ferals by Jacob Grey

Go to review page

adventurous dark mysterious tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? No

3.5

 Melihat sepintas dari covernya (yang menurut gue bagus banget), bisa ditebak kalau Ferals atau diterjemahkan jadi Pengendali Gagak ini adalah novel untuk anak - anak atau middle grade. Tapi gue ga nyangka ceritanya bakal se-dark and gritty ini. Bener - bener bikin gue termenung, karena konten kekerasannya cukup lumayan untuk sebuah buku dengan tujuan pembaca anak - anak. Mungkin lebih pas kalau dibaca sama yang udah SMP atau kalaupun yang baca masih SD perlu dampingan orang tua. Karena aura ceritanya emang cukup suram, sama suramnya dengan penampilan si tokoh utama, Caw, yang bisa mengendalikan gagak.

Ide tentang kemampuan mengendalikan hewan atau beast-tamer sebenarnya bukan hal yang benar - benar baru. Genre buku ini yaitu urban fantasy with dark & gritty element juga udah sering dipakai. Tapi gue suka sama eksekusi Jacob Grey (yang tidak jelas identitasnya. Gue yakin ini nama pena penulis yang udah banyak bikin novel sih) buat novel pertamanya ini. World buildingnya cukup simpel tapi teratur dan ga sulit dipahami atau diikuti. Membaca Ferals mengingatkan pada pengalaman baca gue saat baca Lockwood & Co. And surprise, surprise, sama kayak Lockwood, Ferals pun berkutat dengan dunia lain atau dunianya para orang - orang yang sudah tiada. Mungkin ingin ada sedikit unsur kayak Harry Potter, maka Caw sendiri juga sudah tidak punya orang tua dan harus bertahan hidup dari umur 5 tahun hanya dengan ditemani gagak - gagaknya. Gue suka banget sama trio gagak yang ngikutin Caw. Glum dan Screech itu suka saling adu pantun, dimana Glum kebagian peran gagak tua yang sinis dipadukan dengan Screech yang jiwa muda. Lalu ada Milky, gagak putih buta dan bisu yang ternyata menyembunyikan banyak rahasia.

Tentunya cerita ga cuma berkisar di sekitar Caw aja, karena Grey mengenalkan beberapa tokoh Ferals yang lain. Hewan - hewan yang dikendalikan pun cukup beragam. Walau kalau ga suka serangga, baca deskripsi tentang pengendalian kecoak, laba - laba dan lipan di buku ini emang agak euh sih. Tokoh2nya pun ga cuma anak - anak, karena ada tokoh dewasa juga. Masa lalu Caw dijelaskan dengan cukup runut dan konfliknya bersama Ferals lain pun cukup oke dieksplorasi. Pertemanannya dengan Lydia pun juga cukup menarik diikuti termasuk identitas asli Lydia. Karena masih bocah, ya tentunya ada saat dimana Caw (dan juga Lydia ) berlaku yang bikin gue kesel, tapi akhirnya gue inget yah ini kan masih bocah umur 13 tahun yak. Pace cerita yang cepat dan tanpa babibu tetap terjaga membuat gue penasaran sama apa Caw akan berhasil mengalahkan musuhnya, yaitu Spinning Man.

Kalau pengen nyari novel middle grade yang ga melulu tentang anak sekolahan atau sihir dengan setting antah berantah dan lebih ingin yang nuansanya suram dan cukup hopeless (pada awalnya), Ferals ini bisa jadi pilihan. Pun, walau series, bukunya cuma tiga, jadi cocok buat yang susah berkomitmen sama series yang banyak bukunya XD. 

Expand filter menu Content Warnings