Scan barcode
marieal's review against another edition
reflective
sad
slow-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? No
4.0
bacon's review
challenging
dark
emotional
reflective
medium-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? It's complicated
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? No
4.0
nitaf's review against another edition
3.0
Emang ya kalo baca bukunya Jostein Gaarder, mau setipis apapun, tetep nggak bisa dibaca pas lagi santai-santainya. Tapi aku sendiri suka sih sama dialog-dialognya Cecilia dan Malaikat Ariel yang saling berbagi rahasia manusia dan rahasia surga itu.
Ya ... mungkin buku anak-anak ini agak kontroversial buat sebagian orang karena mengajak anak-anak mempertanyakan Tuhan, nabi, dan entitas spiritual lainnya. Tapi, jujur, aku agak lega sih karena ada bacaan anak-anak yang menyingung topik-topik spiritualitas kayak gini, semacem memuaskan sosok kecil di diriku buat "diizinkan" berpikir kritis. Soalnya waktu kecil aku dibiasakan buat nggak boleh mempertanyakan tentang apa yang sudah "ditetapkan" dari ajaran agama, juga nggak dibolehkan mencatut alternatif interpretasi lain buat membaca ulang kisah-kisah nabi, misteri Tuhan, dan seputar afterlife juga.
Seperti kata Ariel, "Bertanya itu tak pernah merupakan suatu ketololan", dan “Alam semesta adalah teka-teki akbar. Dan jika sesuatu adalah teka-teki, kamu tentu boleh sedikit menebak-nebak”.
Tuhan yang dijelaskan dengan antropomorfisme di novel ini—yang aku persepsikan sebagai sosok orangtua yang penyayang cuma ke anak kecil, gampang khawatir, merasa "kurang puas" dengan ciptaannya walau juga agak defensive dengan ngomong kalau dia sudah berusaha sekeras mungkin buat yang terbaik, tapi sekaligus sensitif terhadap kritik—juga menurutku menarik, karena menurutku lebih mudah bagi anak-anak buat membayangkan-Nya dan merasa dekat dengan-Nya. Tapi suka juga sama gimana Cecilia agak kesel sama Tuhan yang kelihatannya menciptakan manusia seperti main-main belaka, “...sementara Tuhan Yang Mahakuasa nyaman bertahta dan mempermainkan kita seperti gelembung sabun. Hanya untuk pamer kepada para malaikat.”
Oh iya aku juga kaget juga karena malaikat ini ternyata anak-anak juga, kayak Cecilia. Make sense juga sih soalnya mereka entitas yang abadi dan nggak bertambah tua. Sebelumnya memang beberapa kali disertakan di pop culture kalau ada sosok malaikat anak-anak, tapi sepertinya yang populer adalah sosok malaikat dewasa yang berjenis kelamin dan rupawan. Dan ternyata malaikat juga tidak bersayap, seperti penggambaran populernya.
Aku juga kaget karena malaikat ternyata nggak bisa “merasa” seperti manusia yang bisa merasa berkat indranya, jadi mereka juga nggak bisa membedakan mana nikmat mana sakit. Dan mereka juga nggak bisa mengalami emosi berlebih seperti bahagia.
Cuman aku ngerasa beberapa deskripsi malaikat ini agak kontradiktif. Di satu sisi, katanya malaikat didesain buat nggak bisa berpikir, biar mereka nggak bisa berbohong. Pengetahuan mereka juga disebutkan nggak bertambah sejak diciptakannya mereka sampai sekarang. Tapi di sisi lain mereka kelihatan bisa "berpikir" secara mandiri gitu dengan kekepoan mereka ke manusia dan gimana masing-masing malaikat punya perbedaan pandangan terhadap manusia.
Terlepas dari itu semua, yang aku "kagumi" dari cara berpikir malaikat ini adalah mereka diem kalau mereka nggak paham tentang sesuatu.
Sedikit yang bikin aku kecewa lagi karena ya sosok malaikat ini sendiri mirip sama citra malaikat Kaukasian yang populer itu. Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin citra malaikat seperti itu karena "akan lebih mudah" buat manusia untuk otomatis memvisualkan entitas spiritual dengan wajah-wajah yang familier dengan mereka, apalagi protagonisnya juga anak kecil dari Skandinavia kan.
Kalau dipikir ulang juga, pola pikir yang innocent, yang tersebar di novel ini lumayan kerasa juga dari perspektif Ariel dan Tuhan juga, Sebelumnya aku pikir kira cuma Cecilia yang kayak gitu. Contohnya penggambaran Hawa dan Adam yang masih kanak-kanak ketika mereka memutuskan makan buah dari pohon pengetahuan karena penasaran. Ya namanya juga anak-anak, gitu kasarannya.
Isu lain yang aku suka dari buku ini adalah gimana Cecilia dan Ariel ngomongin kalau dunia akan lebih mudah kalau dibutuhkan "3 jenis kelamin" untuk membuat bayi. Jadi keputusan melahirkan berapa banyak bayi di keluarga itu benar-benar diperhitungkan karena ada "banyak kepala", thus mengurangi ledakan penduduk. Plusnya lagi kemungkinan ketiga orangtuanya nggak terlalu kerepotan, bisa punya me-time sendiri-sendiri, dan bisa lebih bahagia mengurus anak mereka.
Terakhir, mungkin karena emang kurang sreg format berceritanya —kurang tahu juga ya apakah buku anak-anak lebih banyak yang seperti ini— dan gimana rangkaian peristiwa di luar dialog nggak semenarik dialog-dialognya Ariel dan Cecilia di kamar, jadilah cuma bisa ngasih 3/5 buat final rating novel ini.
Ya ... mungkin buku anak-anak ini agak kontroversial buat sebagian orang karena mengajak anak-anak mempertanyakan Tuhan, nabi, dan entitas spiritual lainnya. Tapi, jujur, aku agak lega sih karena ada bacaan anak-anak yang menyingung topik-topik spiritualitas kayak gini, semacem memuaskan sosok kecil di diriku buat "diizinkan" berpikir kritis. Soalnya waktu kecil aku dibiasakan buat nggak boleh mempertanyakan tentang apa yang sudah "ditetapkan" dari ajaran agama, juga nggak dibolehkan mencatut alternatif interpretasi lain buat membaca ulang kisah-kisah nabi, misteri Tuhan, dan seputar afterlife juga.
Seperti kata Ariel, "Bertanya itu tak pernah merupakan suatu ketololan", dan “Alam semesta adalah teka-teki akbar. Dan jika sesuatu adalah teka-teki, kamu tentu boleh sedikit menebak-nebak”.
Tuhan yang dijelaskan dengan antropomorfisme di novel ini—yang aku persepsikan sebagai sosok orangtua yang penyayang cuma ke anak kecil, gampang khawatir, merasa "kurang puas" dengan ciptaannya walau juga agak defensive dengan ngomong kalau dia sudah berusaha sekeras mungkin buat yang terbaik, tapi sekaligus sensitif terhadap kritik—juga menurutku menarik, karena menurutku lebih mudah bagi anak-anak buat membayangkan-Nya dan merasa dekat dengan-Nya. Tapi suka juga sama gimana Cecilia agak kesel sama Tuhan yang kelihatannya menciptakan manusia seperti main-main belaka, “...sementara Tuhan Yang Mahakuasa nyaman bertahta dan mempermainkan kita seperti gelembung sabun. Hanya untuk pamer kepada para malaikat.”
Oh iya aku juga kaget juga karena malaikat ini ternyata anak-anak juga, kayak Cecilia. Make sense juga sih soalnya mereka entitas yang abadi dan nggak bertambah tua. Sebelumnya memang beberapa kali disertakan di pop culture kalau ada sosok malaikat anak-anak, tapi sepertinya yang populer adalah sosok malaikat dewasa yang berjenis kelamin dan rupawan. Dan ternyata malaikat juga tidak bersayap, seperti penggambaran populernya.
Aku juga kaget karena malaikat ternyata nggak bisa “merasa” seperti manusia yang bisa merasa berkat indranya, jadi mereka juga nggak bisa membedakan mana nikmat mana sakit. Dan mereka juga nggak bisa mengalami emosi berlebih seperti bahagia.
Cuman aku ngerasa beberapa deskripsi malaikat ini agak kontradiktif. Di satu sisi, katanya malaikat didesain buat nggak bisa berpikir, biar mereka nggak bisa berbohong. Pengetahuan mereka juga disebutkan nggak bertambah sejak diciptakannya mereka sampai sekarang. Tapi di sisi lain mereka kelihatan bisa "berpikir" secara mandiri gitu dengan kekepoan mereka ke manusia dan gimana masing-masing malaikat punya perbedaan pandangan terhadap manusia.
Terlepas dari itu semua, yang aku "kagumi" dari cara berpikir malaikat ini adalah mereka diem kalau mereka nggak paham tentang sesuatu.
Sedikit yang bikin aku kecewa lagi karena ya sosok malaikat ini sendiri mirip sama citra malaikat Kaukasian yang populer itu. Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin citra malaikat seperti itu karena "akan lebih mudah" buat manusia untuk otomatis memvisualkan entitas spiritual dengan wajah-wajah yang familier dengan mereka, apalagi protagonisnya juga anak kecil dari Skandinavia kan.
Kalau dipikir ulang juga, pola pikir yang innocent, yang tersebar di novel ini lumayan kerasa juga dari perspektif Ariel dan Tuhan juga, Sebelumnya aku pikir kira cuma Cecilia yang kayak gitu. Contohnya penggambaran Hawa dan Adam yang masih kanak-kanak ketika mereka memutuskan makan buah dari pohon pengetahuan karena penasaran. Ya namanya juga anak-anak, gitu kasarannya.
Isu lain yang aku suka dari buku ini adalah gimana Cecilia dan Ariel ngomongin kalau dunia akan lebih mudah kalau dibutuhkan "3 jenis kelamin" untuk membuat bayi. Jadi keputusan melahirkan berapa banyak bayi di keluarga itu benar-benar diperhitungkan karena ada "banyak kepala", thus mengurangi ledakan penduduk. Plusnya lagi kemungkinan ketiga orangtuanya nggak terlalu kerepotan, bisa punya me-time sendiri-sendiri, dan bisa lebih bahagia mengurus anak mereka.
Terakhir, mungkin karena emang kurang sreg format berceritanya —kurang tahu juga ya apakah buku anak-anak lebih banyak yang seperti ini— dan gimana rangkaian peristiwa di luar dialog nggak semenarik dialog-dialognya Ariel dan Cecilia di kamar, jadilah cuma bisa ngasih 3/5 buat final rating novel ini.
mikimeiko's review against another edition
3.0
Bello ed emozionante come molti libri di Gaarder, ma un pelo troppo infantile
sofietintenhertz's review against another edition
Fra perspektiv til en agnostiker:
Først vil jeg bare påpeke at jeg elsket «Appelsinpiken» og av det jeg har lest av «Sofies verden» er jeg nysgjerrig pg optimistisk, men...
Til tross for at «I et speil, i en gåte» hadde noe av den samme gnisten Gaarder pleier å ha, likte jeg den ikke noe serlig.
Det meste utspilte seg i dialoger mellom hovedpersonen og en engel som besøker henne der hun ligger hjemme, alvorlig syk på julaften.
Disse dialogene hadde sterke religiøst innhold og filosofi rundt dette, som egentlig er to temaer som interesserer meg en del. Problemet var at de religiøse aspektene ble fortalt på en måte som om de var fakta og at denne boka skulle fortelle hvordan Gud var og alt det gudommelige. Selv om det kunne vært interessant å se om dette var med tanke på å vise Gaarder sitt perspektiv på kristendom, klarte jeg ikke å henge med på troverdigheten og følte at det hele var ganske meningsløst.
Boka skal likevel få sin ros for sine tankevekkende spørsmål (utelukkende det direkte religiøse) og fin skrivestil som holder seg innenfor rammene på historien og ikke trekker med meningsløse karakterer eller miljøer
Jeg skulle kanskje også nevnt helt i starten at jeg ikke synes dette var noen dårlig bok nødvendigvis, den var bare ikke for meg.
2.5
Først vil jeg bare påpeke at jeg elsket «Appelsinpiken» og av det jeg har lest av «Sofies verden» er jeg nysgjerrig pg optimistisk, men...
Til tross for at «I et speil, i en gåte» hadde noe av den samme gnisten Gaarder pleier å ha, likte jeg den ikke noe serlig.
Det meste utspilte seg i dialoger mellom hovedpersonen og en engel som besøker henne der hun ligger hjemme, alvorlig syk på julaften.
Disse dialogene hadde sterke religiøst innhold og filosofi rundt dette, som egentlig er to temaer som interesserer meg en del. Problemet var at de religiøse aspektene ble fortalt på en måte som om de var fakta og at denne boka skulle fortelle hvordan Gud var og alt det gudommelige. Selv om det kunne vært interessant å se om dette var med tanke på å vise Gaarder sitt perspektiv på kristendom, klarte jeg ikke å henge med på troverdigheten og følte at det hele var ganske meningsløst.
Boka skal likevel få sin ros for sine tankevekkende spørsmål (utelukkende det direkte religiøse) og fin skrivestil som holder seg innenfor rammene på historien og ikke trekker med meningsløse karakterer eller miljøer
Jeg skulle kanskje også nevnt helt i starten at jeg ikke synes dette var noen dårlig bok nødvendigvis, den var bare ikke for meg.
2.5
arryiae's review against another edition
5.0
"Perhaps we're sad when something's beautiful because we know it won't last forever."
Just as we humans, come and go. Fleeting.
We're lucky to be alive.
Imagine. Create. Feel.
Live.
Do not be bitter.
Do not fear.
Death is a gift.
The key to eternity.
Just as we humans, come and go. Fleeting.
We're lucky to be alive.
Imagine. Create. Feel.
Live.
Do not be bitter.
Do not fear.
Death is a gift.
The key to eternity.
itzreibrary's review against another edition
4.0
magical...ga salah deh kalo bilang buku ini mengharukan dan menyentuh walau ceritanya simpel banget dan gaya bahasanya juga ga berbelit-belit...jadi penasaran pengen baca jostein gaarder yg lain, tapi kenapa Bibbi Bokken kok bukunya garing abis ya?apa karena dia kolaborasi?hmmm...
snappy's review against another edition
3.5
Picked this up as a last minute effort to complete my reading goal of the year. Imagine my surprise when it, rather appropriately, turned out be set at christmas.
Overall, a very sad, but also kinda nice story
Overall, a very sad, but also kinda nice story
cutesycream's review against another edition
3.0
Buku ini menceritakan perjalanan Cecilia dan Malaikat bernama Ariel. Buku ini diselimuti dongeng dan perenungan dalam akan alam semesta menurut Malaikat Ariel. Walaupun tuhan yang saya percayai dengan tuhan yang dipercaya Jostein Gaarder, saya tetap bisa semakin mengagungkan tuhan saya sama seperti Jostein mengagungkan tuhan dalam buku ini. Dari buku ini saya juga belajar tentang Natal dan itu merupakan ilmu yang berguna untuk saya agar lebih memahami teman teman saya yang beragama berbeda dengan saya.
Saya memutuskan memberi rate buku ini 3/5 karena buku ini memang sangat sederhana sehingga tidak ada sesuatu yang membuat saya terheran heran dan terkaget kaget misalnya. Saya sendiri lebih menyukai buku dengan ending mengejutkan atau cerita dengan plot khas dan unik sehingga bagi saya buku ini biasa biasa saja.
Saya memutuskan memberi rate buku ini 3/5 karena buku ini memang sangat sederhana sehingga tidak ada sesuatu yang membuat saya terheran heran dan terkaget kaget misalnya. Saya sendiri lebih menyukai buku dengan ending mengejutkan atau cerita dengan plot khas dan unik sehingga bagi saya buku ini biasa biasa saja.